Jumat, 04 November 2011

Sumpah Pemuda di Cikuray @Switzerland van Java


28 Oktober 2011
Welcome to the Switzerland van Java

Sumpah Pemuda, euy. mumpung masih muda, kudu diperingati. so, Sumpah Pemuda kali ini kita peringati di Puncak Cikuray, Garut. Pukul 9 malam waktu Indonesia bagian Jatinangor, gue sama rombongan orang-orang keren start dari kawasan kampus IPDN menuju terminal kebanggaan orang-orang di Bandung, yah . . . itulah terminal Cileunyi yang akan menjadi saksi keberangkatan kami meninggalkan kota tahu menuju Switzerland van Java. Yeeaahhhh . . . rombongan kali ini ada 9 orang keren.
Aslansyah (Sulbar), Satria (Jatim), Dharmawan (Jatim), Ari Fadli (Sulsel), Bagus (Jatim), Guh Ilham (Sumbar), Ayu (Junior asal Kalteng), Rumanum (Junior asal Sumsel) dan gue . . . asal Prancis.
Okai, dengan ngeborong satu angkot, berjubel udah pasti, intinya tuh sopir angkot malam itu menjadi sopir angkot yang paling beruntung karena telah berkesempatan menampung kami, para kumpulan orang-orang keren. Nah, sesampainya di Cileunyi . . . segera kami cari angkutan menuju Switzerland . . . Alhamdulillah ya . . . ada angkutan yang mau nampung kami ke Garut dengan ongkos 15rebo perak. Okailah . . . mari kita mainkan.
9 orang menuju Garut yang dimulai dari puku 9 malam. Keren, kan???
Perjalanan menuju Garut cukup sepi. Mungkin karena toko-toko dan warung udah pada mau tutup.
Tapi jalan raya masih menyisakan kehidupan kota yang khas mengiba.
Tumpukan sampah, sisa pencarian manusia yang harus ditutup malam ini juga.
Orang-orang kembali menghimpun tenaga
Untuk esok yang berisi semua yang tidak pasti bagi mereka
Pijar semua kuning temaram lampu kota
Erangan mereka yang lapar
Gerutu mereka pada bosan dan ketidakadilan
Itulah kota.
Tapi mobil, sepeda, sepeda motor, becak . . . terus melaju
Dingin. Gue mulai ngantuk. Tapi suasana Switzerlandnya Jawa pas malam gak boleh gue lewatin.
 Ini kali kedua gue ke Garut. Yang pertama ke Garut isinya makan-makan sama Mbak Us dan Mbak Dilla. Garut yang pertama cukup mengenyangkan dan berada pada posisi aman. Karena waktu itu gue sama dua orang Mbak itu dijamu habis-habisan sama Teteh Alif yang punya toko kue Alif di Jatinangor. Jadi pas mau ke Garut, kita bertiga dikasih tumpangan Avanza sama suaminya Teteh itu. Sebelum meluncur ke Garut, gue sama yang lain dibeliin kue dan tahu Sumedang dulu. Katanya buat cemilan selama perjalanan Jatinangor ke Garut. Busseeeeetttttttt . . .
Sumpah enak banget pengalaman pertama ke Garut. Budget yang keluar zero rupiah, euy. Ditraktir pula. Sesuatu banget ya . . . belum lagi pas nyampe rumah Teteh . . . semua makanan dan kue dikerahkan khusus buat kita. Apalagi coba . . . pake acara bakar sate domba garut juga buat makan siang. Wiiiiiihhhh . . . kenyang full saudara-saudara . . .
Perjalanan ke Garut yang ke dua kali ini sangat berbeda. Gak ada itu tumpangan gratis berupa avanza yang di dalamnya ada cemilan tahu Sumedang yang paling enak se-Sumedang dan kue-kue. Hehehehe . . . yang kedua temanya adventure, bukan bertema masak kayak pertama kali ke Garut. 
Dari Jatinangor ke Garut hanya memakan waktu satu jam setengah. Yap, satu jam setengah pusing. Karena jalannya ular. Untung aja gue hanya pusing, gak pake acara mabok. Malam cukup larut. Memasuki kota Garut yang sebentar lagi akan tidur disambut dengan dingin dan cahaya lampu yang akan segera dimatikan. Malam itu kami berhenti di Cilawu. Dari tempat inilah, rombongan kami akan melanjutkan perjalanan menuju . . . PEMANCAR TELEVISI yang berada di antara perkebunan teh Dayeuh Manggung.
Malam itu juga rombongan 9 orang KEREN ini akan menuju target, yaitu pemancar televisi yang letaknya di dekat kebun teh. Waaahhhh . . . gue pernah ngebayangin berjalan-jalan di kebun teh. Hijaunya begitu luas membentang. Dimana-mana hijau . . . hijau yang sejuk. Tapi karena ini lagi jalan malam, otomatis yang ada hanyalah siluet bukit dan hitam. Tapi tetep . . . nggak mengurangi kekhusukan gue mengarungi sela-sela kebun teh yang amat gue impikan dulunya. Sesekali kabut menerpa tapi rombongan tetap jalan. Padahal waktu itu udah menunjukkan pukul 11 malam.
Menurut info yang kita dapat dari Bapak-bapak yang jaga di sebuah pos dekat kebun teh, waktu normal yang dibutuhkan untuk nyampe ke pemancar adalah . . . 4 jam. Woooooww . . . hajar, gan. Rombongan disergap dingin tapi tetap berjuang menuju target. Suasana sepi, mulai dingin, kadang turun kabut, kadang ada rintik. Gue berdoa . . . God, jangan turunkan hujan dulu. Tunggu kami sampai di pemancar baru Engkau turunkan hujan . . . dalam diam gue berharap sangat. 
Kami ber9 terus berjalan dan terus berjalan di sela-sela kebun teh yang menghitam dan gelap. Sesekali kami berhenti untuk menghimpun tenaga. Ada yang membuka bekal berupa kacang mete, meneguk air ada pula yang udah nggak tahan untuk segera menghirup tembakau. Sekian jam kami berjalan, disaksikan panorama kerlap-kerlip kota Garut dari ketinggian . . . nampaknya pemancar yang sedari tadi kami jadikan patokan, entah kenapa malah menjadi semakin jauh.
Lelah udah pasti, badan gue basah oleh keringat. Subhanallah ya . . . dari tadi jalan terus . . . kayaknya udah 4 jam, deh. Atau udah lebih dari 4 jam mungkin. Naik turun bukit tapi pemancar makin jauh adanya. Halllooooo . . . ada 9 orang keren, lagi muter-muter kebun teh yang berbukit-bukit, malam-malam, bercucuran keringat, bawa ransel segede kulkas, sempoyongan, mata merem melek gak jelas, sesuatu banget ya. Padahal temen-temen kita yang lain nih, kayaknya udah pada nongkrong di Jatos, muter-muter Bandung sampai kere, atau pada di tempat tidur masing-masing sambil ngemil kacang rebus. Haaddeeeehhhhh . . . 9 orang keren.
“Kayaknya jalan ini nggak bisa dilewati ojek.” Gumam salah seorang temen gue. Karena emang menurut info, jalan menuju pemancar itu bisa dilewati ojek. Tapi dari tadi track yang kami lewati jalan tikus semua. Pakai acara potong-potong jalan pula rombongan gue . . . Waaaaddeeeehhh . . . curiga, nih gue. Pertanda nyasar, nih. Tapi rombongan tetap jalan.
Jam udah menunjukkan pukul 1 pagi. Kami kembali berhenti di sebuah tepian yang dibawahnya adalah jurang yang nggak terlalu tinggi. Tapi kalau jatuh lumayan juga, tuh . . . bisa manggil 3 orang tukang urut sekaligus. Wkwkwkwkwhahaha . . . di tepian itu kita menemukan jalan buntu. Kali ini pemancar emang udah dekat. Tapi kami terhalang jurang yang lumayan menjatuhkan mental kita. Belum lagi lintasan normal yang dari tadi kami harapkan ternyata belum juga ada. BUNTU. GELAP. GAK JELAS DAN NGANTUK PISAN.
Dalam kebingungan itulah, kami menemukan sebuah tenda. Nah, coba dah kita tanya ke si pemilik tenda perihal jalan menuju pemancar. Eehhhhh . . . pas kita bilang punteun . . . cukup lama si penghuni tenda ngebuka tendanya . . . pas keluar . . .
“Wah, masih gelap ya???” katanya sambil ngucek baju (ngucek mata, deh). Heeuu . . . ya iya lah, Kang masih gelap. Yang bilang terang siapa??
Kita tanyakan saja kepada Akang yang ternyata dari Tangerang itu. Dan Beliau menjawab . . .
“Kami juga nyasar, nggak ketemu jalan buat ke pemancar . . .”
Hhhhmmmm . . . stamina udah drop. Ngantuk. Udah malam. Teler tingkat dewa. Kami pun memutuskan untuk berhenti mencari jalan ke pemancar. Berhubung udah pukul 2 malam waktu Garut, kita pun nggak sempat menuju pemancar dan ngecamp di bawah bukit kebun teh. Yah, ini pilihan yang lebih bijak daripada harus memaksakan nyampe di pemancar. Bisa-bisa subuh baru nyampe pemancar dalam keadaan nggak jelas format dan adat. TEPAR SEMUA.
Malam yang udah pagi. Kami mendirikan tenda dan masak seadanya. Cukup teh manis dan beberapa potong roti. Setelah itu, kami tidur. Mengistirahatkan kaki yang sekian jauh mengitari bukit-bukit penuh teh di sana-sini. Melelapkan pikiran yang buntu belum menemukan jalan. Mungkin dengan tidur akan membuat stamina lebih segar, biar besok nggak sempoyongan lagi

Hantarkan aku pada sebuah mimpi. Ketika aku dan kamu berlarian lincah di sela-sela kebun teh. Menantang panas dan tiada peduli semua urusan. Menaiki dan menuruni perbukitan. Sejenak beban kita hilangkan. Lihat . . . ibu-ibu yang lelah itu kembali bekerja setelah melihat kita begitu lincah berlarian-berkejaran. Lihatlah . . . ibu-ibu paruh baya itu tertawa melihat kita terjatuh berguling-guling seperti anak yang kurang kerjaan. Dan ketika kita main petak umpet di sekitar rumpun-rumpun teh yang menghijau, kita iseng memetik pucuk-pucuk harapan ibu-ibu itu. Tapi ibu-ibu tidak marah. Malah mencubit lengan kita dengan ramah. Lalu kita kembali berlari menaiki bukit perkebunan teh. Mulai lelah, kita pun duduk bersila di bawah pohon besar. teduh.
.


29 Oktober 2011
9 orang keren . . . nanjak tulen
Naahhh . . . ini baru terang saudara-saudara . . . nggak kayak tadi malam. Udara masih dingin. Asri perkebunan teh mulai terasa di pagi itu. Jalan nampak jelas . . .
“Oooohhh . . . itu jalannyaaaa????” dengan agak bloon gue baru ngeh pas lagi ngobrol sama seorang Bapak pekerja kebun yang lewat di dekat tenda kami. Ternyata dari tempat kita ngecamp, jalan menuju pemancar sangat dekat, Bung. Tinggal menuruni bukit menuju 3 pohon yang berdiri tegak di seberang tenda kami, setelah itu . . . kita tinggal mengikuti track beraspal yang agak rusak yang akan membawa kita menuju pemancar. Begitulah . . .
Pagi itu targetnya adalah semua anggota 9 orang keren harus terpenuhi logistiknya. Karena perjalanan yang akan ditempuh hari ini akan lebih panjang, bro. Rumanum selaku junior (nindya Praja) dengan segala respek yang dia punya, segera merebus air dan membuat kopi jahe juga merebus mie. Sementara Mas Satria seperti biasa . . . emang cocok kalau disebut sebagai koordinator nasi. Karena di tiap pendakian Mas satu ini sangat hobi masak nasi. Coba aja kalau dia bawa ikan asin lagi kayak ke Salak, bisa disebut juga sebagai koordinator ikan asin, heheheh . . . (piiiss Mas . . .)
Sangat terasa sejuknya. Terbangun dari tidur yang sangat pulas setelah menempuh perjalanan mengitari perkebunan teh. Disuguhi hamparan kebun teh hijau. Kabut kerap membelai bumi, mesra dan penuh keagungan. Kutatap Cikuray bertahta arakan mega-mega sambil menyeruput kopi jahe untuk dibagi. Seperti pagi itu yang sangat imaji. Menunggu masakan siap santap, dan kebetulan kali ini gue nggak masak, hehehe . . . emang tiap kali ada kegiatan ini gue males masak. Entah kenapa gue lebih tertarik untuk menikmati sekitar. Sedangkan urusan masak, rekan-rekan gue yang cowok sepertinya lebih antusias melakukannya. Hehehe . . . (bilang aja malas lo).
Setelah makanan udah siap, kami segera menyantapnya. Menu sederhana ala anak gunung. Kopi, nasi, mie dan sarden. Energi untuk melewati tanjakan demi tanjakan yang akan menemani perjalanan. Kita lihat, rombongan pendaki asal Tangerang udah bersiap-siap untuk berangkat. Kami masih berbincang sambil makan dan tentu saja . . . sambil menikmati megahnya Cikuray. Pikirku udah ada di puncaknya.
“Okai . . . sebelum berangkat mari kita berdoa dulu.” Setelah menyantap makanan, packing dan buang air . . . kami pun segera melakukan persiapan.
Tuhan, hari ini kami kembali datang untuk menikmati noktah-noktah surgaMu. Sederhana saja, merentangkan tangan dan meresapi suasana di atas salah satu puncak yang menyimpan keindahanMu. Kami panjatkan jutaan harap, sesampainya di sana mohon mata ini jangan dulu terlelap. Sempatkan lah kami bersitatap dengan paras kebesaranMu.
Tuhan, kami menghamba sebagai hambaMu. Mengharapkan kemurahan hatiMu. Merestui kami dalam perjalanan ini. 
Dengan diiringi doa dan ditutup dengan teriakkan SUMPAH PEMUDA dari kami . . . dan BERANGKATTTTT!!!!!!
Perjalanan dimulai. 

Pertama kami harus melewati pemancar televisi dulu lalu melewati sela-sela kebun teh dan berhenti sebentar pada sumber air untuk mengambil air. Karena selama di Cikuray tidak ada sumber air. Sumber air terakhir hanya ada di kaki gunung Cikuray, ya di perkebunan teh Dayeuh Manggung ini.
Medan masih belum terlalu sulit. Tapi tetap menanjak. Semakin naik, semakin indah pemirsa . . . ketika jalan makin menanjak, panoramanya makin menakjubkan. Ya, itulah naik gunung. Perkebunan teh nampak jelas terhampar. Hijau . . . sejuk dan segar. Kadang ada kabut yang melintas pelan. Kesan mistis pun tercipta. Ayo nanjaakkkkk . . . 
Seperti gunung di Jawa Barat pada umumnya, begitu juga dengan Cikuray. Tracknya kering gak ada sumber air. Dan  . . . NGGAK ADA BONUS. Nanjak terus . . . paling ada bonus hanya 2-3 meter. Habis itu jalan kembali nanjak dengan medan berakar dan berbatu. Cikuray masih bujang, hutan cukup rapat dan kalau gue rasa, sih . . . sebelas-duabelas sama Salak. bedanya . . . Cikuray nggak ada lumpur dan pacet. Karena makin ke atas makin nanjak medannya, otomatis . . . energi tim 9 orang keren berubah menjadi 9 orang sempoyongan. Hahaha . . . maklum lah, namanya juga naik gunung. Nggak ada itu naik gunung enak. Kalau enak ya tidur aja di barak sambil ngemil dan nonton. Tapi kalau nyampe puncaknya, bro . . . . . . subhanallah . . .
Tenaga makin menipis, tim 9 orang keren mulai ngos-ngosan. Makanya kita break dulu sejenak untuk menghimpun tenaga kembali sambil ngemil. Ada permen, coklat dan biskuit serta nggak ketinggalan . . . perbincangan-perbincangan yang menemani kami selama perjalanan. Langkah kita semakin melambat, selain karena beban di punggung, tapi juga karena tanjakan yang seperti nggak ada habis-habisnya. Kemiringan medan yang membuat mental kami juga semakin miring. Tapi biar bagaimana pun, harus tetap berjuang . . . semangat sumpah pemuda, euy. Merdeka.
Cukup sering kami berhenti dan agak lama juga. Apalagi pas ada salah satu rekan gue yang ngajak berhenti buat “semedi”. Haaaaa . . . gue sempet ketiduran nungguin mereka yang lagi semedi. Di samping itu gue bersyukur. Masih diberi kesempatan beristirahat cukup lama untuk mengumpulkan tenaga lebih banyak. Emang gue nggak nyadar kali, ya . . . udah capek . . . tenaga merosot drastis sampe gue hampir drop . . . jadi duduk bentar aja sambil bersandar di carriel . . . eehhh, molor akhirnya. Tambah lagi suasana hutan yang mendukung 100% untuk tidur. Alhamdulillah . . . gue masih ingat bangun.
Yang lain juga gitu. Langkah mulai melemah . . . tapi semua harus kejar-kejaran dengan waktu.
“Ayo semangat . . . Asar kita udah nyampe puncak.” Seru gue sok-sok semangat, padahal gue ngantuk berat waktu itu. Tapi gue lebih pengen cepet sampai . . . hayoooo, ayooo . . . biar nggak terlalu capek, mari kita narsis dulu, coy . . .

Perjalanan kembali berlanjut . . . sesekali kami mendengar suara-suara binatang penghuni Cikuray seolah sedang bahagia menyambut kedatangan kami. Mereka bersahut-sahutan menambah semaraknya Cikuray. Dan kami pun juga ikut menyahut. Beberapa orang rekan gue sangat antusias menyahut sapaan khas mereka dengan ikut menirukan suara mereka dengan suara yang lebih keras. Yah, gue hargain usaha sebagian rekan gue yang berkenan menyahut sapaan mereka, lumayan mirip lah dengan bunyi yang asli . . . sehingga walaupun kami nggak saling bertemu . . . tapi rasa persaudaraan bisa tercipta dengan sangat harmonis karena kepandaian rekan-rekan gue dalam menirukan suara mereka. Yang penting . . . mereka di sana tetap tenang dan nggak melakukan serangan. Itu saja.
Sapaan mereka sangat menghibur kami yang udah hampir tepar ini. Itu menandakan bahwa kedatangan kami disambut, dan mereka sangat ramah kepada kami . . . terbukti. Tidak ada serangan selama kami melakukan pendakian, hehehehe . . . kecuali serangan untuk “semedi”.
Udah hampir 4 jam kami mendaki. Hingga kami istirahat sejenak dan bertemu dengan rombongan pendaki lain yang baru turun dari puncak. Di kala dingin dan cuaca yang berubah-rubah itu, kami berharap puncak semakin dekat.
“Ayo, paling setengah jam-an nyampe . . .” kata salah seorang dari pendaki yang turun. Tentu itu kembali membakar semangat kami. Semangat sumpah Pemuda . . . kami kembali melakukan perjalanan mendaki. Dan . . . hujan rintik mendera . . . panik udah pasti. Tapi semua tetap tenang dan mulai mengenakan jas hujan. Gue males ambil jas hujan. Biar saja lah, kali aja puncak udah deket atau hujannya berhenti . . . itu pikir gue sambil terus meniti jalan menuju puncak. Di kepala gue saat itu adalah . . . PUNCAK!.
“Mas Khalik . . .” begitulah teriakkan dari rekan-rekan serombongan gue. Mereka manggil-manggil Mas Ali yang udah duluan muncak bersama Mas Bagus, Mas Bustanul, Mas siapa lagi gue lupa (hehehe . . . ketahuan gak respek) juga anak Jabar . . . Kang Irwandi. Mereka lah tim yang duluan muncak. Tim dari IPDN juga, gan.
“PUNCAAKKKK . . .” teriakkan menggema dari atas. Gue dengar itu sangat jelas . . . langkah pun makin dipacu . . . puncak dekat. Gue mempercepat langkah . . . next . . .
Welcome . . .
Rintiknya mulai deras, kabut menyambut. Candaan mereka bersahaja melucuti tubuh yang lelah. Hilang sudah semua penantian, kali ini langit dan bumi bermurah hati dengan caraNya. 
Puncak masih 10 meter lagi katanya. Gue singgah sebentar menurunkan carriel di shelter tempat rombongan pendaki dari IPDN lagi ngecamp. Sambil menstabilkan energi yang cukup deras terkuras hujan yang makin deras. Istirahat sejenak menunggu hujan sedikit mereda. Setelah cukup mereda dan ternyata nggak terlalu lama menunggu, gue langsung cabut ke puncak 2818 mdpl. Puncak berkabut menambah nuansa khusuk sebuah penghayatan (halaaahhhh . . . mulai 4L4IY). Senja . . .
Iring-iringan kabut menghalau senja untuk segera tiba. Mendung tiada cahaya. Hujan tiada reda. Aku memilih menghabiskan waktu bersamamu. Merayu heningmu sebagai obat rinduku. Pisahkan aku sebentar saja dari fana. Sebentar saja . . . kita bersama, menemuimu.
Selepas maghrib, hujan masih mengisi keceriaan kami yang udah nyampe puncak. Alhamdulillah ya . . . puncak udah bisa diraih dalam waktu 4 jam. Padahal waktu baca di blog bilangnya puncak dapat diraih dalam waktu 7-12 jam. Alhamdulillah . . . rombongan kami yang sempoyongan bisa mencapainya dalam 4 jam. Thanks ya Allah . . . sekarang . . . tinggal menikmati puncak bersama hangatnya kebersamaan. 
Pas hujan mulai deras-derasnya . . . Alhamdulillah ya . . . TENDA GUE BOCOR pas lagi hujan di sore menjelang malam. Gue dan adek junior Ayu, pasrah ketika memutuskan harus pindah. Pindah ke tenda rekan putra. Kali itu tendanya Guh Ilham yang jadi tempat gue sama Ayu mengungsi. Akhirnya . . . tenda yang tadinya dihuni oleh Ari Fadli, Guh Ilham, Aslan, Rumanom harus ditambah oleh gue sama Ayu. Yah, mau gimana lagi . . .??? tendanya bocor . . . lebih cocok dibilang tempat penampungan air daripada tenda. Hahahaha . . .
Setelah berintegrasi bersama 4 orang rekan putra di tenda sebelah, kami pun hanya meringkuk memeluk lutut kedinginan. Di luar masih hujan deras dan angin mulai menerpa-nerpa tenda kami. Kami duduk berdempetan meresapi dingin. Biar nggak boring, kami pun bercerita sana-sini . . . dari soal puncak tertinggi Indonesia yang ada di Papua sampai berapa gaji seorang porter . . . dari cerita soal kampus sampe Soe Hok Gie, dan tentu saja ditemani oleh cemilan berupa coklat Cha-cha dan kacang Tik-tak. 
Obrolan terus berlanjut dalam suasana hujan. Rumanum yang bawa hape lengkap dengan batere hape yang masih cukup full buat mutar musik, dan akhirnya malam itu kami isi dengan memutar lagu yang ada di playlistnya adek Junior gue yang dari Sumsel itu. Ngobrol, ngemil, sambil dengerin lagu Ipank, Eros dll emang solusi mantab untuk memanipulasi otak agar nggak terfokus pada hujan dan dingin. Biar lebih okai, kami pun nyanyi bareng . . . agak lebay pemirsa . . . tapi, itulah yang bisa bikin kita nampak ceria walaupun kondisi udah bikin bad mood. Kita harus tetap ceria dalam setiap suasana, bro . . . itu prinsipnya . . . jangan sampai mental kita goyang dalam keadaan seperti ini. Yang buruk harus bisa dibikin indah . . .
Sekitar pukul 8an malam . . . badai menyerang . . . tenda kami bergoyang. Cukup terdengar jelas keadaan di luar, ketika para rekan kami yang berjuang memindahkan dan menyelamatkan tenda dan harus bergulat dengan badai. Sumpah . . . ini malam minggu terlebay. Malam minggu, enaknya nongkrong, di café, minimal di warung Tegal lah bagi yang minim modal, atau di mall bagi yang kelebihan modal, konvoi di jalan, bagi yang punya pacar . . . yah, apel ke rumah pacar. Pas hujan, ya tidur enak, bermalas-malasan di tempat tidur sambil megang remot atau dengerin radio sambil ngemil kue kering dan kacang rebus. Huaaaalllaahhhh . . . kerjaan gue kalau lagi gak ada kerjaan tuh. Heheheh . . .
Berbanding terbalik dengan malam minggu versi 14 orang keren yang waktu itu lagi stay di puncak 2818nya Cikuray. Berteman hujan sangat deras. Tenda yang hampir roboh karena digoyang badai. Gue sama 5 orang rekan gue yang ada di tenda . . . hanya bisa duduk memeluk lutut dan berdempetan. Hingga kami satu tenda diserang rasa kantuk dan lelah, dan memutuskan untuk segera tidur. Sebelum tidur, kami bersihkan tenda dari basah dulu setelah itu baru mulai melakukan pengaturan tentang bagaimana posisi tidur yang baik agar semua anggota tenda bisa tidur dengan nyaman. Lalu terciptalah kesepakatan agar kami ber6 tidur menghadap pintu tenda. Hanya cara itu yang lebih nyaman dan yang pasti . . . lebih MUAT.
Hujan enggan reda. Badai masih membabibuta. Dingin merangkul raga. Kami isi dengan lagu dan cerita. Hingga kantuk dan lelah melanda. Kami putuskan untuk mengakhiri malam dengan menutup mata. Selamat tinggal jingga senja yang tiada sempat kami raba. Tapi kami yakin, esok akan lebih bermakna.
30 Oktober 2011
Inilah alasan kenapa harus ada badai
Heran gue . . . Rumanom masang alarm jam 3 pagi dengan menggunakan lagu Cahaya Bulan. Nggak salah??? Bukannya bangun, gue yang denger jadi pengen tidur lagi. lagu apa, kek selain cahaya bulan. Linkin park, kek . . . Metalica, kek . . . pokoknya lagu-lagu pencahar jiwa lah, bukannya lagu yang bikin tidur lagi, payah . . .
Tapi yang namanya masih ngantuk, alarm pake lagu apa aja kayaknya nggak bakal ngaruh. Jadi jam 3 itu akhirnya gue tidur lagi, hehehe . . .
Hingga sekitar pukul 5 lebih. Gue terbangun dan mendengar teriakkan-teriakkan dari puncak. Pikir gue, kayaknya udah ada yang bangun dan mulai berburu sunrise. Tanpa pikir panjang . . . gue langsung keluar dan menyelesaikan shalat subuh. Setelah itu, langsung bergabung ke puncak . . .
Moment pendakian kali ini, almost perfect pemirsa. Hampir semua moment didapat. Nanjaknya, hujannya, badai pas di puncak dan yang terakhir . . . SUNRISE. 
Badai, berhembuslah sekencang-kencangnya . . . agar awan mendung itu hilang dan berganti cerah.
Hari ini adalah hari terakhir kami di Cikuray. Setelah menikmati sunrise plus view kota Garut juga bentang awan yang membuat kami seperti (bukan seperti lagi) tapi emang udah ada di atas awan. 

Sesuatu banget yah . . . mempesona. Badai tadi malam udah ilang terbawa dan berganti takjub. Rupanya malam tadi ada pertarungan hebat di puncak Cikuray, dan pagi tetap sebagai pemenang mutlak. okai, ikrar sumpah pemuda terucap lirih di sela kebahagiaan karena langit dan bumi mau bermurah hati hari itu. ajiiiibbb . . . sundul!!!
Ritual gue kalau di puncak. Kayak biasa . . . mengasingkan diri. memberi celah untuk berpikir tentang tempat tidur gue yang cukup jauh gue tinggalin. Berpikir tentang kerinduan dan orang-orang yang selama ini harus gue tinggalkan. Di sini, di puncak ini, untuk kesekian kali, kebersahajaanMu kembali bisa gue nikmati.
Berharap suatu hari nanti, gue bisa menemuimu lagi.
Waktunya makan . . . kami makan bersama di shelter. Makan mie, harus cukup untuk menuruni tubuh Cikuray. Okai . . . persiapan . . .
Menuruni punggung Cikuray nggak seperti menaikinya. Nggak terlalu banyak tenaga terkuras. Tapi yang ada adalah rasa pegal yang menjadi sisa-sisa dari perjuangan mendaki kemarin. Akibatnya gaya turun gue jadi aneh, kaki gue udah pegel . . . kaki gue terasa  gemetaran waktu turun. Hehehe . . . tapi tetap gue paksa untuk melangkah. Karena biar bagaimana pun, pukul 9 malam ini gue harus udah nyampe kampus buat ikut apel penerimaan Ijin Bermalam.
Waktu naik 4 jam, pas turun nyampe perkebunan teh hanya dalam waktu 2 jam. Turunnya kami dari Cikuray disambut hangat oleh panorama kebun teh berselimut kabut. Dan pada saat perjalanan pulang itu, salah seorang temen gue . . . Guh Ilham dari Sumbar sempet bikin 8 orang keren lainnya panik. Pasalnya, yang bersangkutan tiba-tiba aja hilang. Dua orang yang paling depan, Ayu dan Rumanom nggak ketemu Teguh . . . katanya Teguh ambil jalur kanan, sementara jalur kanan itu adalah jurang. Ya panik lah orang-orang.
Sepanjang perjalanan pun kami hanya bisa meneriakki nama Teguh. Tapi nggak ada jawaban . . . khawatir semakin merajai. Tapi kami tetap turun dan tetap optimis bahwa Teguh udah nyampe perkebunan Teh.
Benar saja . . . setelah kami mulai menapaki jalur perkebunan teh . . . Teguh udah duduk nyantai di dekat rumpun-rumpun teh sambil cengar-cengir . . . haaddeeeehhhh . . . 
Sambil menunggu Rumanom ngambil air, kami bersantai sejenak meluruskan kaki yang agak gemetar ketika menuruni Cikuray. Sembari menikmati perkebunan teh yang jarang banget bisa gue nikmatin. 

Selesai ngambil air . . . kami pun segera berangkat. Kembali menelusuri jalanan yang ada di sekitar kebun teh untuk menuju pangkalan ojeg. Saat itulah . . . Ayu mulai drop. Kakinya udah cukup lelah. Mas Satria pun menyarankan agar dia dan Teguh naik ojeg aja. Pas banget di perjalanan ada ojeg yang sedang beroperasi. Pas banget lagi waktu itu kita ketemu dengan ibu-ibu pekerja di kebun teh yang sedang membersihkan kebun teh dari rumput-rumput liar. Kami pun mencari informasi pulang dari ibu ini. Hingga kami pun diberi tahu jalur menuju pangkalan ojeg terdekat. Yah, namanya aja pangkalan ojeg terdekat . . . tapi kalau ditempuh dengan jalan kaki, dan dalam keadaan kaki yang setengah gemetar gini . . . mungkin namanya yang paling cocok adalah . . . PANGKALAN OJEG TERJAUH. Hahahaha . . .
Sambil menunggu dua orang rekan gue ngasih arahan ke Ayu dan Teguh untuk naik ojeg, gue duduk dengan setengah berbaring di pinggir kebun teh sambil menyanyikan lagu mocca yang syairnya kurang lebih kayak gini: “hanya satu pintaku, tuk memandang langit biru, di pangkuan Ayah dan Ibu . . . andai saja ini, hanya sebuah mimpi, ku slalu berharap, ku tak akan terbangun . . .” eaaaa . . . feelnya dapat banget . . . 
“Neng, mau bareng Ibu gak???” tawar Ibu yang menjadi sumber informasi kami tadi. Rupanya Beliau juga mau pulang . . . 
“Siap, Bu. Abdi ngiring . . .” sahut gue sok-sok Sunda . . . heee. Gue bergegas mengikuti Ibu itu.
Kali ini entah kenapa kaki terasa ringan ketika gue mengikuti langkah lincah Ibu satu ini. Cukup jauh ternyata, harus melewati perkebunan teh, sawah-sawah dan rumah-rumah penduduk. Gue hanya diam waktu itu, sementara yang lain masih berbincang dengan bahasa Jawa. Haaaa, gue nggak ngerti. Jadi lebih memilih diam daripada salah tafsir. Sesekali gue berlari menyusuri jalanan yang ada di sekitar perkebunan teh, yah . . . sekedar untuk merasakan sebuah mimpi yang pernah gue impikan . . . BERLARI-LARI DI SELA-SELA KEBUN TEH. 
Ya, sok-sok berlarian di kebun teh kayak di film-film. Maklum, waktu masih kecil gue termasuk salah satu orang yang terprovokasi oleh adegan-adegan film. Hahahaha . . . mumpung masih di kebun teh, nggak ada salahnya lah . . . merasakan gimana rasanya berlari-lari di kebun teh, walaupun kaki pegel. soalnya di Kalimantan nggak ada kebun teh. dulunya mah, bisanya cuma ngebayangin . . . (haaaa)
Setelah berjalan cukup jauh, akhirnya . . . nemu juga pangkalan ojeg plus ojeg-ojeg yang siap meluncur mengantarkan kami untuk pulang. Kita udah kayak gank motor Garut, konvoi keliling kampung Genteng. Menikmati asrinya sawah-sawah dan deretan rumah penduduk. Kebetulan hari minggu itu lagi ada pertunjukkan adu domba Garut, walaupun udah selesai tapi arak-arakkan domba Garut masih ada yang tersisa. Hari itu domba Garut didandani dan diberi aksesoris berupa kalung di leher. Karena Desa Genteng selalu mengadakan adu domba Garut sebulan sekali. Kata Bapak tukang ojeg yang gue tumpangin, si pemilik domba Garut yang dombanya diadu harus joget pas lagi dombanya bertarung . . . huaaadeeehhh . . .

Ojeg udah mengantarkan kami ke tempat yang udah menyambut kami dengan elef. Kami bersiap menuju terminal Garut dan bertemu dengan Ayu juga Guh Ilham di sana. 
Sayonara Switzerland . ..
powered by: Allah, yang Maha Indah