Jumat, 28 September 2012

SIM Mati???? Demi Pantai, SIM mati langsung dibawa ke Klinik Tong Feng



 Mantai . . . . .


Pantai . . . . pantai . . . . pantai . . . . saking pengennya ke pantai sampai-sampai plang yang bertuliskan Panti Asuhan juga diikutin dan ngebacanya jadi pantai asuhan. Next, jadi bahan pertanyaan . . . . dimana letak Pantai Asuhan. Ooooaahhhhh, demam pantai mulai melanda. Dan cara mengobatinya ya . . . pergi ke pantai, coy. Nah, Alhamdulillah . . . pendidikan di IPDN selama 4 tahun udah berakhir. Woooww, sesuatu. Boleh lah kita merayakannya dengan kembali backpacker gila-gilaan nggak tentu arah dan tujuan. Lagian, semua sudah direncanakan sebelumnya. Jauh sebelum bulan September itu datang dengan hari-hari pentingnya, gue udah mulai nabung. Wuih, emang gue udah niat banget pengen melampiaskan kerinduan pada ombak dan pasir putih juga panasnya yang khas, so nabung adalah kegiatan yang mau nggak mau harus dilakukan. Walaupun harus menahan hawa dan nafsu dalam kurun waktu 2 bulan belakangan demi pasokan dana kegiatan backpacker gak jelas ini. Hhhmmmm, agak lebay. Tapi ya itulah kalau kita udah senang . . . apa kata lo, nggak mungkin gue denger, hehehe . . . piiiisssss.

Okhai, tanggal 12 September gue naik kereta Lodaya pagi dari st. Hall menuju stasiun Tugu. Gue lupa tuh tiket jam brapa, kayaknya pukul 8 pagi lah ya dengan harga 110 ribu. Lodaya pagi yang seperti biasa selalu menyisakan beberapa kursi untuk para turis asing dan selalu ramai oleh para penjual pecel bila sudah memasuki stasiun-stasiun yang ada di provinsi Jawa. Ini kali ketiga gue naik Lodaya pagi, nggak ada yang istimewa hanya saja lamunan yang semakin meliar akan suasana pantai. Jiiiaaahhh, dan sudah pasti gue juga mikir. Entar di sana gue tidur dimana???? Berpikir keraaaaaasssss.

Perjalanan 9 jam yang diisi dengan 30% pasang headset, 20% ngobrol-ngobrol gak jelas, 25% minum air mineral sampe kembung dan sisanya tidur siang. Nyampe di st. Tugu udah ashar menjelang maghrib. Senja Yogya menyambut dengan keramaiannya yang hidup pelan merona ratap tanpa rasa tawar. Selalu ada suguhan menarik setiap datang ke negeri keraton ini, suguhannya adalah . . . ngantuk. Wahahahaha. Gimana caranya gue biasa numpang tidur, numpang makan dan numpang boker di Yogya dalam keadaan sehat walafiat dan aman sentosa sejahtera. 

Pada akhirnya malam itu terasa sangat panjang. Muter-muter di Yogya dengan rute paling berantakan dari yang pernah ada. Kenapa berantakan, karena Marlboro aja kayaknya udah 3-4 kali gue lewatin tapi belum juga dapat penginapan. Dan . . . masih dengan jalan kaki, gue nekat jalan ke alun-alun. Pake apa??? Sok-sok kuat, gue ke alun-alun dengan jalan kaki. Wkwkwkw, jadilah hari itu sebagai hari paling rempong sedunia. Nongkrong di alun-alun setelah shalat isya di Masjid Gede. Nah, tadinya gue pengen nginap di masjid Gede. Tapi . . . Marbotnya bilang gini: “Nggak bisa mbaaakkk . . . mesjid ne tutup pukul setengah 10.” Gue hanya bisa menelan paku, mor, baut dan barang pecah belah. Pukul 9 malam gue kembali move tanpa arah dan tujuan. Padahal kaki udah peyot dan bahu udah pegel manggul carrier. Asli, kayak jadi tukang jamu seharian nih. Hhhhmmm, gue sedikit menyerah. Hehehhe, ada lihat Bapak Tukang becak sedang rokokan, nganggur, nyanyi-nyanyi lagu Jawa dengan bersilang kaki. Pikir gue, nih Bapak tukang becak pantas jadi sasaran perampokan, hehehea. Terjadilah dialog yang temanya tentang gue yang hilang arah, dan mau numpang tidur, makan dan boker di Jogja. Untung aja Bapaknya gak bilang: “MASALAH BUAT GUEH???” wkwkwk. So, dengan sangat bersahaja, Bapak ini langsung ngasih gue rekomendasi Wisma Hidayah.

Hhhhmmm, sebelumnya gue sempat nemu penginapan yang letaknya dekat dengan SMK lupa namanya, hehehe. Pokoknya tuh SMK yang tema pelajarannya seni-seni gitulah, daerah Bantul pokoknya. Nah, nama wismanya Wisma Nusantara. Di wisma ini semalam harganya 80 ribu. Tapi tempatnya . . . . ckckckcck, hhhmmmmm. GALAU. Ukuran kamar aja udah sempit dan kamar mandinya yang di dalam lagi rusak. Selain itu tempat tidurnya empuk-empuk gak ikhlas gitu, hehehee . . . gue nggak tega tidur di sini. Akhirnya . . . keadaan seperti inilah yang bikin gue move ke kawasan Alun-alun Kidul.

Yup, back to the Bapak tukang becak story. Bapak ini merekomendasikan Wisma Hidayah. Nah, pas Tanya-tanya ternyata harganya juga 80 ribu sehari semalam. Gue jelas trauma, men. Muka pucat, mendadak mules, pengen pingsan, dan dengan langkah-langkah hampa, gue ikutin Mas-mas yang nganterin gue ke kamar yang 80 ribu itu. Ahhhh, rasanya pengen tutup mata, tutup hidung, tutup telinga, tutup pori-pori . . . nggak karuan pokoknya. Dan . . . . 

“Silahkan Mbaakkk.” Pengen sujud syukur lah detik itu. Sumpah, beda banget dengan 80 ribu versi Wisma Nusantara. Yang ini, kamar mandinya bagus, tempat tidurnya 2, ukurannya luas dan nyaman. Satu lagi yang unggul, letaknya dekat dengan Alun-Alun Kidul. Hanya berpaut 500 meter. Eaahhhh. Jadi juga gue numpang tidur, makan dan boker di Yogya. Oke, gue langsung bersih-bersih dan persiapan buat besok.

13 September 2012
Bismillahirrahmaniraahim. Target kita adalah Wonosari, kawasan Gunung Kidul yang ada banyak pantai. Sudah terbayang seharian main pasir dan memandang ke arah laut lepas. Bebaaassss. Meninggalkan wisma dalam keadaan bingung pas pagi-pagi pula, itu udah biasa. Menyusuri ruas-ruas jalan dengan titik-titik kebingungan yang semakin banyak. So, gue coba Tanya-tanya ke Bapak-bapak yang lagi nongkrong di angkringan. Menurut informasi dari yang bersangkutan, kalau mau rental motor . . . adanya di dekat stasiun Tugu. Okeh, mari kita hajar. On the way ke kawasan stasiun Tugu, terhenti di pangkalan tukang ojek karena bingung tempatnya dimana. Akhirnya gue nanya ke Bapak-bapak tukang ojek. Dan Alhamdulillah . . . . arah pukul 9 dari pangkalan ojek tersebut dengan jarak sekitar 200 meter adalah tempat rental motor. Yeahhh, lets rent hahahaha.

Tempat penyewaan lagi sepi. Gue hanya nemuin seorang bule yang lagi ngembaliin motor, dan keramaian di pagi itu sedang terpusat pada kegiatan eksekusi tanah yang TKPnya gak jauh dari stasiun Tugu. Nah, si Bapak yang ngurusin rental motor itu juga lagi seru-serunya nonton eksekusi tanah, ckckckckc. Sok heboh, yach. Hahaha, gak lama bapak itu balik dan kembali bertugas. Bapak yang berambut lurus dan gondrong ini *agak mirip dengan para personal band boomerang.* dengan ramah menanyakan maksud dan tujuan gue bertandang ke sini. Ya udah, gue bilang aja gue mau muter-muter Jogja dan butuh motor buat sehari ini.

Tadinya gue sempet shock. Pasalnya sebelum gue ketemu sama Bapak yang mirip personal boomerang itu, gue kan sempat ketemu sama isterinya dulu, nih. Isterinya bilang, kalau mau rental motor kudu ada uang jaminan sejuta. Alamaaaaakkkkkkkk. Segala bayangan tentang pantai di otak gue seolah pada kena tsunami semua. Apes banget kalau bener gitu, gue mana ada pegang uang sejuta. Lha duit di ATM aja gak nyampe sejuta. Duit di ATM Cuma cukup buat anggaran trip selanjutnya, yaitu ke gunung. Hoooaaaaa, otomatis muka gue mendadak galau gitu. Tapi ternyata . . .
 
“Beneran pak mesti pake uang jaminan sejuta?” Tanya gue dengan setengah mengiba, kalau perlu gue ngesot lah pas nanya tuh, wkwkwkwk. “Ah, nggak mbak. Cukup KTP sama bayar 60 ribu. 60 ribu itu tariff untuk penyewaan selama 24 jam.” Subhanallah . . . . thanks ya Allah . . . . hampir aja plan mantai gue gatot. “oke mbak, mana SIMnya.” Dengan PD gue tunjukkin SIM gue bersamaan dengan uang 60 ribu pas. Ternyata pemirsaaaaaa . . . .

“Woooalllaaahhh, SIMnya mati ki mbak.”

Jdaaarrrr . . .  jdaaaaarrrrrr . . . . prrreeeeeeeeeeeettttttt . . . . gubbbrrraaaaaaak . . . . ngeek

Kayak ada efek panggung srimulat di sekitar gue. Gue langsung tepuk jidat. Baru ingat kalau itu SIM gue, gue buat pas gue masih SMA, fotonya aja foto SMA. Pret banget lah.

“Yo wes mbak, gpp. Mbak berdoa saja semoga gak ada kegiaan razia hari ini.”

Gue langsung lemes. Dan bener-bener berdoa. Pasalnya hari ini tujuan gue bukan muter-muter Jogja tapi ke Wonosari. Hhhhhh . . . 


Tepat pukul 8, gue start dari depan rumah Bapak yang nyewain rental motor menuju belantara Jogja dan mencari jalan ke Wono sari. Bingung udah pasti, ketika bensin gue berkurang 1 liter, baru gue nemuin jalan ke Wonosari. Hahahaha, PARAH. Padahal gak segitunya juga kali, tapi ya itulah nyasar-nyasar. Hehehe. Alhamdulillah, otw Wonosari perjalanan gue dipermudah dengan adanya penunjuk-penunjuk jalan yang diletakkan secara strategis dan emang khusus diperuntukkan untuk orang-orang bingung kayak gue. Jadi, kawasan Wonosari lancar sampe Gunung Kidul. Dari Jogja menuju Gunung Kidul jalannya mirip-mirip kayak mau ke puncak. Bagi yang belum pernah ke Puncak Bogor, hhhmmmmm . . . okeh, agak-agak mirip dengan ruas jalan menuju Sumedang tapi jalannya lebih luas. Agak-agak ular dan sekitar yang banyak pohon-pohon meranggas dengan kondisi tandus. Lagi kemarau, brow

Nyampe di kawasan Gunung kidul dengan waktu 2 jam lebih. Itu pun pas ngisi bensin dan sambil nanya-nanya, kawasan pantai masih jauh . . . . wkwkwkwk, tancap. Mau mundur udah gak mungkin. Kita bereskan hari ini juga, guys.

Memasuki kawasan pantai dengan kondisi jalan yang mulai rusak dan penuh dengan batu-batu kecil. Di pinggir-pinggir jalan selalu Nampak bukit-bukit kecil. Wowwww, hehhe. Tujuan pertama gue adalah ke Sundak. Nah, di perjalanan mau ke Sundak . . . gue ketemu dengan Ibu-Ibu yang mengacungkan tangannya ke depan. Kalau insting gue bilang, sih si Ibu kayaknya mau nyuruh gue berhenti. Wah, gue curiga aja. Jangan-jangan, yaaaahhh. Maklum lah gue parno. Ini bukan Kalsel, mana motor gue rental, pake SIM mati pula, wkwkwkw. Tapi karena gak tega, akhirnya gue berhenti juga.

“Kenapa Bu?” Tanya gue. Dan si Ibu ngejawab pake bahasa Jawa. Ya iya lah gue langsung blank. So, Ibu itu segera merubah bahasanya menjadi bahasa Indonesia yang komplit dengan aksen Jawa. Ternyata Ibu pengen diantar ke pantai Sundak. Itu pun dia bilang setelah gue ngaku kalau gue mau ke Sundak. Beliau bilang kalau dia mau Ke Sundak buat nyari rumput laut. Okeehh, ibu langsung duduk di belakang gue. Dengan demikian gue punya guide buat ke Sundak. Coz, tujuan kita sama. Yeeahhhh. Sekitar 15 menit dari tempat gue ketemu sama Ibu tadi, akhirnya nyampe juga di Sundak.




Sundak sedang ramai oleh para pencari rumput laut. Katanya rumput laut ini dijual 1300/kg. pantai Sundak saat itu lagi sepi wisatawan, banyak warung-warung tutup dan hanya ada 1-3 warung yang masih beroperasi, itupun gak ramai. Maklum, bukan akhir pekan dan bukan hari libur. Tapi . . . sekali lagi, seninya menikmati pantai ya saat-saat sepi.

Senda gurau itu tiada. Semua lembut kosong semerbak tanpa aroma. Di kerumunan angin piawai membuai lekuk khayal, renung pilu koyak semampai jiwa. Ombak asa menimpa-nimpa. Hempas membabi buta. Lagi-lagi aku menguncup, sayup. Kembali bergolak pada kekacauan perasaan.
Bersikeras menjadi pemberani. Mencoba congkak pada ombak. Terbungkuk-bungkuk menahan terik, meski meleleh lembut piaskan karat kemauan diri. Demi esok dan seterusnya.

Sambil memainkan pasir putih, gue mengamati aktivitas para pencari rumput laut. Beberapa dari mereka juga ada yang mencari . . . namanya gue lupa, Erek apa ya??? Hahaha, sory, gue lupa namanya pokoknya model kayak bulu babi gitu lah.

Siang menjelang Djuhur saat itu, mendung menimpali perjalanan. Tapi sengatannya seolah sedang menahan dari beranjak. Kata hati, ingin tetap memiliki hari itu sampai aku benar-benar lelah dan pulang.

Setelah shalat djuhur di Sundak sambil menyantap mie goreng dan teh es manis, gue kembali melanjutkan perjalanan menuju pantai lain. Kali ini, dengan mengandalkan papan penunjuk arah, akhirnya gue mendarat di pantai Wato Kodok. Yup, kalau gak salah namanya begitu. Pantai ini mirip-mirip dengan pantai Sundak, ada batu besar di kanan dan kirinya dan juga ada aktivitas penduduk sekitar yang lagi nyari rumput laut. 

Tapi, meeennnn . . . jalan menuju Wato Kodok bener-bener keren. 



Untung aja gue rental motor biasa. Padahal pas ngerental gue sempet ditawarin naik motor matic. Hahaha, gue paling gak tega naik matic kalau kondisi medan kayak gini. Hehehe, bisa-bisa gue lebih milih jalan kaki, euy. Wkwkwkwk. Jalan menuju pantai Wato Kodok sangat sepi. Lengang, agak serem, sih. Tapi pas nyampe pantainya gue langsung ketemu sama Bapak-bapak penjaga parkir. Bapaknya udah tua dan ngomong pake bahasa Jawa tok. Hooooaaaaa, gue sok-sok ngerti dengan bilang inggih sambil manggut-manggut. Asli, sebenarnya gue gak ngerti artinya sama sekali.

Parkir hari itu bener-bener sepi. Cuma motor gue yang markir di situ. Hahahah, suasana pantai jangan ditanya lah. Semakin terpencil, maka semakin kaffah untuk dinikmati. 

Biarlah hari itu kita serakah. Menjadi penikmat tunggal kedalaman desingan bayu yang meratapi pesta pora ombak. Menikmati ini semua tanpa penghianatan, karena aku bukan dengan siapa-siapa. Aku hanya membawa egoku berjalan seirama ritme hatiku. Dengan telepati intim atas rasa kehilanganku, yang ingin kumiliki lagi walau harus kandas di saat nanti.



bersambung . . . . di Klinik Tong Seng, Wwkwkwkwkwwkw . . . .