Puasa-puasa . .
. . . rela gemporin badan, teposin pantat, pegelin pinggang, demi pantai.
Hahahahadoohhh. Hari libur yang cerah tuh, rasanya berdosa banget kalau sampai
dilewatin dengan rute yang sama. Mesti muter arah dan cari kebebasan yang baru.
Begitu prinsipnya, bung. So, kalau nggak salah itu tanggal 28 Juli 2013, hari
deket-deket sama lebaran. Gue masih di kantor lagi ada beberapa tugas penting,
tugas Negara yang bikin gue rela pagi-pagi libur dlam keadaan melek.
Nah, selesai
tugas gue baru nyadar bahwa hari itu cerah banget. Hari yang cerah buat jiwa
yang lapar. Gue lihatin blade gue dengan seksama. Kayaknya nggak ada masalah
lah kalau “dia” gue ajak rempong-rempongan ke Angsana. Heheheh, gue jelasin
dulu dah ya. Angsana itu sejenis pantai yang punya jembatan. jembatannya
mengarah ke laut. Pas banget ada temen gue yang baru pulkam di sana.
Sambil ngantri
bensin, gue kontak temen gue. cuman mau nanya di sana cerah nggak. Dan
jawabannya adalah cerah. Okeh, sudah bulat azzam ini untuk berangkat ke sana.
Yang pasti gue nanya rutenya dulu. Dan Alhamdulillah, janji temen gue orang
kayak gue bakal nyampe sana dalam waktu 3 jam. Hahahah, di pikiran gue udah
bilang kecil aja, tuh.
Yeeahhhhh, okeee
. . . . berangkat.
Rute gue dari
Banjarbaru ke Pelaihari dulu. Itu normalnya gue tempuh sejam. Di Pelaihari gue
bimbang, karena gue nggak pernah ke Tanbu alias Tanah Bumbu, Kabupaten yang
tetanggaan sama Pelaihari. Nah, gue tuh belum pernah kelayapan sampe sana. Pake
motor pula. Akhirnya gue nanya sama Bapak-bapak yang lagi ngecat kantor.
“Waaahhhhh, jauh
itu kalau dari sini. Ini jalannya.” Salah seorang Bapak nunjuk jalan yang
menikung ke kanan yang ada di depan gue.
JAUH?????
KACRUT. Temen
gue yang di sono bilangnya deket………
Lagi-lagi gue
terhasut. Tapi ya udah lah. Emang udah diniatin ke sana.
Akhirnya gue
ambil rute yang ditunjukkin Bapak tadi. Terjalani juga hari yang cerah ini
dengan gempor-gemporan di atas motor. Dan ini kali pertama gue jalan ke
Pelaihari-Tanbu. Biasanya mentok hanya di kota Pelaiharinya saja.
Sejam pertama
gue masih nyantai. Nikmatin pemandangan yang ada. Kebanyakan pohon kelapa sawit
dan hutan-hutan gitu. Nah, jalan hampir dua jam gue udah mulai lemes. Iya lah
lemes, dari tadi tuh, yang ad ague masih di Kabupaten Pelaihari. Gilaaaaa,
bayangin aja lah. Jalanan mulai sepi, banyakkan truck yang lewat daripada
motor. Asli gue kesepian dan merana banget. Mana panasnya makin panas pula. Dan
gue tuh baru tahu, gank kalau ternyata Pelaihari itu luas ya. Secara untuk ke
Tanah Bumbu aja gue mesti lewatin beberapa Kecamatan. Dari Pandan sari, johor, Kurau
sampe ke Kintap yang paling akhir. Yang lintasannya paling panjang adalah
Johor. Berkelok dan sepi lagi. Dan gue berdoa, semoga nanti pas pulang gue
nggak sampe ketemu malam di Johor. Amin amin amin. Heheheh
Jarak tiap
kecamatan itu jaraknya luar biasa jauh. Ada yang nyampe 20-30 km deh. Jauh
karena emang jauh, dan didukung pula karena baru pertama kalinya gue lewat
jalan ini. Berasa nih, pantat udah nempel sebegitu lamanya. Pengen berhenti
tapi takut diculik, kan artis boowww. Wkwkwkwkwk.
Nah, waktu udah
dzuhur. Kalau nggak salah pas dzuhur itu gue masih berada di Kabupaten
Pelaihari. Selepas dari masjid, eh gue ketemu Ibu-ibu. Gue rada lupa nama
beliau. Kalau nggak salah nama Beliau Sukiyem. Beliau ini melambai-lambaikan
tangan kanannya ke arah gue. gue ya heran, dan gue jadi teringat pada apa yang
pernah gue alami waktu di Wonosari dalam rangka muter-muter pantai di Gunung
Kidul. Waktu itu gue mau ke Sundak dulu sebagai pantai pertama di Gunung Kidul
yang mau gue kunjungi. Eh malah dicegat sama Ibu-ibu yang mau nyari rumput laut
ke Sundak. Baca lagi, deh ya postingan gue yang ngetrip pantai di Gunung Kidul
edisi SIM mati. Hehehehe.
Kenapa ya, tiap
solo trip ke pantai selalu ada adegan ini. Adegan Ibu-ibu nyegat gue di pinggir
jalan buat numpang di motor gue. berasa selalu ada malaikat yang ngikutin gue
tiap gue ngetrip, heheheh. Kali ini Bu Sukiyem ini berpropesi sebagai Tukang
Urut alias tukang pijat yang hari itu baru pulang mijat dari langganannya.
Sepulang mijat langganannya ternyata beliau dapat upah berupa beras dan gula.
Kasian juga, coy si Ibu jalan rempong-rempongan bawa beras sama gula. Tapi
lebih kasian mana sama gue yang dari tadi belum juga nyampe ke Angsana. Hahah.
So, gue anterin
dulu lah si Ibu sambil nanya-nanya soal Angsana masih jauh apa? Ternyata Ibu
itu bilang MASIH JAUH.
Wadeeuuhhh,
hampir nyerah gue coy. Tapi nggak jadi nyerah, soalnya pas gue udah nyampe ke
tempat Bu Sukiyem, gue dikasih semangat sama beliau. Plus wejangan dikit agar
gue hati-hati dan jangan ngebut.
Okeeeehhh,
semangat semangat bray. Yakin dikit lagi, nih pantai bakal kekejar sebelum
waktu berbuka. Lanjut ngegas lagi dalam keadaan mulai haus, tapi ditahan dulu
lah ya sampe adzan maghrib berkumandang.
Kurang lebih
setengah jam akhirnya gue nyampe di gerbang perbatasan Pelaihari dan Tanah
Bumbu. Alhamdulillah . . . . . meski suasana pantai kayaknya masih jauh, tapi
sesuatu banget gue bisa nyampe Tanah Bumbu. Horeeeeeee.
Sambil ngisi
bensin, sambil nanya pantai Angsana sama Ibu yang ngisiin bensin. Katanya
tinggal setengah jam lagi. Waaaaaaaaaaa, rasanya pengen meneteskan air mata
buaya.
Tancap gas lagi,
bray. Kali ini benar-benar semangat sampe lupa haus dan lapar. Mendengar
tinggal setengah jam lagi tuh, gue memperlambat motor gue. siapa tau kelewat,
kan nggak lucu. So, sambil sedikit melemaskan otot-otot yang tegang setelah
menempuh perjalanan sekitar 4 jam lebih, gue sambil lirak-lirik kanan-kiri.
Seingat gue gerbang menuju pantai Angsana adanya di sebelah kanan.
Ternyata
pemirsa, dari gerbang Tanah Bumbu itu masih jauh, hei. Subhanallah . . . . . .
udah manyun, tuh muka gue. gue harus melewati kota Tanah Bumbu. Habis itu mesti
lewatin 2-3 Desa yang udah gue lupa namanya, heheheh. Jarak antar desa juga
lumayan jauh. Alamaaakkk. Tapi akan lebih lumayan lagi kalau gue balik ke
Banjarbaru tanpa mendapatkan satu view pun tentang pantai Angsana. Dan ditambah
lagi betenya, temen gue nggak bales sms gue. asli gue seperti sedang mengalami
labil situasisasi.
Jauhhhhnyaaaa,
ya Raabbb . . . . . udah dua desa gue lewatin. Kalau untuk rempongin dan
gemporin badan, sih gue bilang mission complete, deh. Remponginnya sukses,
gemporinnya juga cumlaude. Berharap banget desa yang ketiga adalah desa
Angsana, yang ada pantai Angsananya. Beruntung banget, setiap Desa punya tugu
perbatasan masing-masing.
Setelah melewati
tiga desa, akhirnyaaaaaa . . . . . . tugu Desa Angsana berhasil gue lihat di
sebelah kiri. Yeeahhhhhh, dengan penuh keyakinan gue pun bersemangat kembali
melanjutkan perjalanan. Gue yakin banget, pantai Angsana nggak jauh lagi.
Ayoooooo….. gue pun terus melihat ke kanan. Hati gue udah bahagia banget, nih.
Bentar lagi nyampe.
Nggak lama,
subhanallah . . . . . gapuranya pantai
Angsana akhirnya kelihatan juga.
Berlinang lah air mata buaya. Langsung aja
dah, gue masuk gerbang yang bercat hijau itu. Masuk ke sana yang dilihat
hanyalah pohon kelapa sawit dan beberapa fauna yang kayak burung sama monyet.
Nih, tempat sepi banget. Nggak ada petugas kelapa sawit. Gue hanya nemuin satu
orang Bapak-bapak yang habis pulang dari nyari kayu. Gue nanya pantai Angsana
masih jauh, kah?
“Wah, masih JAUH
Mbak.”
Whhoooattttt???
Gue disuruh
Beliau ngikutin jalur lurus sepanjang perkebunan kelapa sawit.
Sampe nanti gue
ketemu jalanan beraspal. Gue disuruh ngikutin jalan beraspal itu, maka
sampalah. Nah, dibayangin gue itu instruksi yang sangat mudah. Iya dibayangan
emang kelihatannya mudah. Tapi, coy pas ngejalanin medan yang sesungguhnya . .
. . adedehhh, gue kebaca plang yang salah pake nyasar pula. Ceritanya plangnya
itu ke kanan pas gue nemu perempatan. Jalan ke kanan itu bukan jalur beraspal.
Tapi karena plangnya mengarah ke sana, ya akhirnya gue ikutin ke sana. Tapinya
lagi gue nggak nemuin jalan yang normal.
Jalannya tuh
ancur banget.
Tanah merah nan becek. Udah gitu gue sok-sokan nggak mau nyerah
lagi, pake acara beroptimis ria bahwa inilah jalan yang benar menuju ke Pantai
Angsana. PD mati deh, pokoknya. Gara-gara keseringan baca statusnya Mario
Teguh, nih. Nah, pas gue ngelewatin jalan yang makin ke ujung makin rusak,
makin becek dan yang gue temuin malah perkebunan kelapa sawit yang nggak
berkesudahan, akhirnya mulai timbul firasat bahwa gue nyasar. Makin kuat lah
firasat gue waktu gue nemu monyet berlarian dengan bebasnya di depan gue.
Astaghfirullah .
. . . . itu barusan MONYET. MONYEEETTTTT????
SHOCK GUE. tapi sori lah ya, gue nggak bisa posting foto rombongan monyet tuh, boro-boro mau moto mereka. lihat aja gue ogah lah. takutnya tuh monyet-monyet liar. iya kalau gue bawa pawang monyet. yang ini kan, pawang ular. ular-ularan, hahahah.
Langsung aja gue
muter arah, bray. Gilaaaaaa . . . . . kalau gue mati dikeroyok monyet mana ada
yang tau entar. Ya Allah . . . . . #labilisasi
Sekarang gue
balik lagi ke jalur yang beraspal dekat plang naas tadi. Sambil ngomel-ngomel
bĂȘte sama tuh, plang dan gue pun langsung ambil jalan beraspal (sok kuat pula
pake ambil jalan beraspal). Selama perjalanan itu, gue masih kebayang-bayang
soal monyet tadi. Ya Allah . . . . Alhamdulillah, puji syukur gue masih selamat
dari cengkraman monyet-monyet tadi.
Nah, otw Angsana
gue nemuin jalan yang begini . . . .
Ancur, ya. Tapi
pada akhirnyaaaa . . . . . . .
Taraaaaa . .
. . . . pantaaaiiiiiiiiii . . . . . . #jingkrak-jingkrak
Akhirnya
sodara-sodara. Nyampe juga gue di pantai Angsana. Udah pukul 2 siang, bray.
Gilaaaaaaa, dari 9 pagi. Kacrut banget dibilang 3 jam. 3 jam naik pesawat jet
maksud lo. Langsung aja lah gue nyari Paijo. Tuh anak kayaknya udah nongkrong
di jembatan kayu. Lupa sama gue yang habis kesasar dan hampir dikeroyok
monyet-moyet.
Tapi, nih ya . .
. . yang tadinya gue mau marah-marah, mendadak nggak jadi setelah lihat pantai
Angsana yang tenang, sepi nggak ada orang tapi masih menyisakan cita rasa ombak
dan sepoi siang.
Hhhhh, kali ini
lagi-lagi nggak bisa melewati senja di pantai. Karena takut kemalaman, coy.
Tapi ya nggak papa. Nanti waktu mungkin bisa kembali menikmati sunset. FYI, nih
bray . . . . gue udah hampir 12 tahun nggak pernah lagi lihat sunset di pantai.
Selalu aja gagal nonton sunset. Itulah kenapa gue begitu semangatnya kalau
berburu pantai. Meski nggak dapet sunset, tapi menjamah pasir dan ikut
menghirup anginnya saja gue udah seneng.
Semoga next trip
bisa melihat sunset yang telah hilang selama hampir 12 tahun itu, ya. Amin.
Special thanks,
nih buat big bro Paijo untuk edisi maen pantai Angsana. You are the great host,
hehehe. Salam sama temennya deh dan sukses aje di perantauan. Buat Bapak-bapak
dan Ibu-ibu yang gue temui selama perjalanan, daku yakin pertolongan dari Allah
SWT mengalir melalui kalian semua buat yang hobi solo trip kayak gue. big
thanks juga, nih buat tim bengkel Kecamatan Jorong. Hehehehe, jadi ceritanya
nih karena medan jauh dan jalan yang cukup rusak serta gue yang ngegasnya
kebangetan akhirnya mengakibatkan rantai motor gue harus diganti girnya. Di
perjalanan pulang gue nemuin sesuatu yang aneh di motor gue. janggal gitu, deh.
Ternyata rantainya yang lost. Untung bengkel tinggal 1 km, Alhamdulillah . . .
. . bisa pulang ke Banjarbaru dengan lancar.
Kali ini kembali
nggak bisa nikmatin sunset. Sunset itu masih menghilang dari hidup gue.
berharap suatu waktu bisa menemukannya lagi. Salam ombak, cooooyyyy.