Ceritanya udah lama
sebenarnya. Cuman gue lupa posting, (maklum . . . orang keren kayak gue
sekarang lagi sibuk banget. weeeeekkkk . . . ) Udah lama banget, sih. Sejak
masih bintang dua alias Nindya Praja. masa rame-ramenya bikin eksperimen nggak
jelas bareng orang-orang yang juga nggak jelas. Hahahaha . . . tapi ya itulah
namanya anak muda. Anak muda biasanya giat banget nyoba hal-hal baru dengan
dalih buat nambah pengalaman. Sungguh . . . itu pemikiran anak muda yang sok
dewasa banget. padahal anak singkong juga. Yang penting enjoy lah. Walaupun
kesempatan serba terbatas, tapi . . . itu bukan penghalang. Dan itulah gunanya
berani mengambil keputusan.
Ceritanya gue deket
banget sama Teh Teti yang jualan di KSP (Kantin samping peprustakaan) IPDN. Teh
Teti ini jualan bala-bala (sejenis gorengan), jualan batagor (batagor kuah
maupun nggak pake kuah), langganan gue lah pokoknya. Cerita persisnya gue juga
kurang jelas. Entah gimana . . . gue jadi dekat sama dia. Yang pasti gue sering
beli bala-bala sama dia. Gue suka berat sama bala-bala, dan yang jualan
bala-bala di kampus gue yang cuma Teteh yang asli Sumedang ini.
Nah, selain keren .
. . gue kan orangnya juga ramah . . .
(wkwkwkwk . . .(*&(*^*^*&) saking ramahnya, tiap kali gue jajan
bala-bala di dia, gue pasti ajak ngobrol dia . . . apa aja pasti gue tanyain.
Penting nggak penting yang penting gue nanya aja sama dia, yang pentingnya lagi
selalu munculkan tema kalau gue beli bala-bala atau batagor sama dia.
“Teh . . . jualan
bala-bala dari kapan???”
“Teh . . . bumina
dimana???”
“Teh . . . ari bade
ka Sabuga kumaha nyak???”
“Teh . . . bahasa
Sundanya lapar naon???”
Pokonya A sampe Z
intinya nanyaaaaaa aja terus. Sampai itu Teteh jadi hapal sama gue. Hahahah.
Lagian menurut gue itu Teteh seru kalau diajak ngobrol dan Teteh ini juga salah
satu orang yang paling berkontribusi dalam upaya peningkatan jumlah vocabulary
bahasa Sunda gue selama hidup di tanah Sangkuriang ini (tttssaaaaaahhhh . . .)
Yang penting
ngobroooolllll . . . tentang apa aja diomongin (penting nggak penting
pokoknya).
Jadi akhirnya gue
deket sama dia. Jadi kayak temenan lah sama Teteh yang punya anak satu ini. Gue
sama temen gue yang bernama Istiqomah, walaupun namanya Istiqomah tapi masih
belum terlalu sesuai juga sama namanya, bro. nama emang Istiqomah, tapi
orangnya separoh Sleman separoh Kaltim (diragukan juga, nih keistiqomahannya .
. . wkwkwkwkw . . .) nah, partner gue yang satu ini juga dekat sama Teh Teti.
So . . . kita bertiga ce-es an . . .
Selanjutnya, nih
Bro. pas gue lagi jajan batagor sama Mbak Qomah di Teh Teti . . . Teh Teti
ngajakin makan di rumah dia. Wwaaaahhhh . . . jarang-jarang kita diajak makan
sama orang luar.
“Yok, entar makan
sareng teteh. Teteh bikinken liweut, ikan asin plus sambal terasi . . .”
Jiiiaaaahhhhh . . .
melelehlah sudah semuanya . . . dari keringat sampe air liur . . . MELELEH
SAUDARA-SAUDARA . . .
Maklum lah, di Menza
(tempat makannya Praja) jarang banget bisa makan sambal terasi. Paling sebulan
hanya beberapa kali. Apalagi ikan asin . . . oh God . . . ikan asin udah jadi
barang lux kalau buat gue selama di kampus. Nasi liweut . . . hhhhmmmm . . .
terakhir gue makan nasi liweut pas gue masih Madya Praja waktu ada praktek
lapangan di Jingkang, sebuah Desa yang letaknya di tengah hutan dan masuk
kabupaten Sumedang, yang mau ke sana saja harus menempuh jarak ratusan kilo
dengan kondisi jalan lebih cocok dipakai buat lomba naik gunung. Subhanallahhh
. . .
“Mau . . . MAU
BANGET KITA TEH . . .”
Muka gue sama Mbak
Qomah udah muka-muka penuh nafsu gitu. Bener-bener pengen nyantap makanan itu
lagi. setelah sekian lama meninggalkan salah satu peradaban kami yang indah
itu. Rindu, euy.
“Mangga . . . hari
minggu tapinya . . .” Kata Teteh.
“Okai, Teh. Minggu
kami ke rumah Teteh.”
FIX GAN . . .
Sesuatu banget, ya .
. . udah lama nggak makan gituan. Anugrah banget apabila kembali berkesempatan
menyantap nasi liweut lagi. gue sama Mbak Qomah udah nggak sabar menunggu hari
perjamuan makan itu datang. Seminggu berasa lama banget. padahal pikiran ini
udah lumayan gonjang-ganjing, nggak tenang, dan nggak sabar lagi pengen segera
hari minggu.
Udah terbayang
gimana khasnya nasi liweut . . . hhhmmm, nasi liweut yang dibuat di Sunda,
dibikin oleh orang Sunda, disajikan oleh orang Sunda, dan dimakan bersama-sama
orang Sunda . . . sambal terasinya . . . yang mak nyooossss, yang bisa bikin
keringat meleleh, air mata meleleh, bahkan ingus pun mungkin akan meleleh
(sungguh . . . THE POWER OF SAMBAL TERASI), ikan asin . . . hhhhhaaaa, apalagi
yang ini. Andalan banget pokoknya, coy.
Menu rakyat tapi
kepuasannya konglomerat. Ajjiiiibbbbbbb . . .
Rencana udah
tersusun dengan manajemen tinggi. Prediksi kami adalah kegagalannya 0%.
Perjamuan makan bareng Teh Teti akan sukses 100%. Jauh-jauh hari kita udah
dikasih tau dimana letaknya rumah Teh Teti. Rumah Teh Teti cukup gampang
(katanya . . .) naik angkot 04 dan berhenti di Citali. Seperti itulah istruksi
yang diberikan Teh Teti pas hari sabtu kita rapat sebentar di KSP untuk
merencanakan tekhnis keberangkatan.
Dan ini lah yang
sangat ditunggu-tunggu . . .
Hari minggu, seperti
biasa . . . PESIAR. Bada Zuhur kita berdua langsung cabut pake angkot 04.
“Bapak, antarkan ke
Citali.” Kata gue.
Angkot pun meluncur
menuju Sumedang. Gue terus berkomunikasi sama Teh Teti lewat hp. Selama
diperjalanan Teh Teti selalu ngasih kami arahan.
“Pokoknya setelah
lewat Tanjung sari. Ada pangkalan ojeg. Nama daerahnya Citali. Bilang aja
Citali ke Bapak sopirnya. Entar berhenti dekat pangkalan ojeg.” Begitulah . . .
Lintasan Jatinangor
Sumedang lagi panas-panasnya dan macet tentunya. Tapi bayangan akan nasi
liweut, sambal terasi plus ikan asin udah bikin kita maboookkk . . . nggak
sabar pengen segera sampai ke rumah Teh Teti.
Tanjung Sari udah lewat.
Gue sama Mbak Qomah waspada sambil lihat-lihat sekeliling, untuk memastikan ada
nggaknya pangkalan ojeg.
“Neng . . . ini udah
di Citali.” Seru Pak sopir.
“Berhenti di
pangkalan ojeg, Pak.” Pinta gue bersemangat. Waktu itu gue sambil nelpon Teh
Teti.
Angkot masih melaju
tapi dengan kecepatan lambat, karena mau nguber pangkalan ojeg ceritanya. Pas
gue nelpon Teh Teti . . . gue lihat Teh Teti lagi berdiri di pinggir jalan pake
baju biru.
“Qomah . . . itu Teh
Teti . . .” gue berseru penuh kemenangan. Dan angkot pun berhenti.
Alhamdulillah . . .
NYAMPE DI CITALI.
“Nggak nyasar,
kan???” Tanya Teh Teti.
Rumah Teh Teti emang
gampang. Kami segera menuju rumah Teh Teti yang ternyata harus melewati sebuah
tangga. Ooohhhh . . . ternyata rumahnya Teh Teti ini masuk kawasan perbukitan.
Setelah melewati tangga dan tugu (nggak ngerti juga nih tugu apaan, kayaknya
nih, tugu ada hubungannya sama pertanian. Karena nggak jauh dari kawasan rumah
Teh Teti ini ada sekolah Menengah Kejuruan yang bergerak di bidang pertanian. Dan
ini tugunya berhubungan sama pertanian itu) kita sempet narsis dulu, lah dikit
. . .
inilah, orang-orang
keren yang sedang menyelesaikan ekspedisi Citali (THE POWER OF SAMBAL
TERASI):fotooooooooooo
Setelah melewati
tangga . . . kami kemudian melewati jalan setapak yang cukup menanjak dan
lumayan landai. Tapi karena lagi pake sepatu PDH yang ber-hak, kami cukup
kelelahan juga waktu melewati tanah yang menanjak ini. Di sekeliling jalanan
yang menanjak ini, nampak perkebunan penduduk. Ada pisang, kubis, sayur-sayuran
. . . dll (dan lupa lagi). angin sepoi-sepoi mulai mengeringkan keringat kami
selama kepanasan di angkot yang pengap . . . yang terasa adalah kesegaran . . .
sejuk . . .
Nampak juga
landscape Gunung Geulis dan atap rumah-rumah penduduk Citali dari bukit ini.
Cerah . . .
Selama ini keluhan
lah yang paling banyak mengambil peranan
Dan manusia lebih
senang dipukul oleh rasa tidak puas
Arogansi meluap-luap
menunggu diberi tanggap
Sempit . . . sempit
. . . ruang berbatas oleh sesuatu yang normatif
Melupakan sebagian
kecil yang juga menjadi bagianmu yang paling setia
Hanya saja . . .
Manusia dengan
angkuh segala rupa
Seisi hati dan pikir
hanya egois meraja
Sepertinya bebas . .
. tapi meringkuk dingin sambil memukul-mukul dinding penuh grafiti yang mengintimidasi
kemanusiaan
Selalu lupa . . .
itulah manusia
Pada bagian-bagian
yang seharunya ada tapi dianggap tai dan hilang saja
Tidak ada inisiatif
untuk membuka dan merentangkan lengan selebar-lebarnya sayap langit
Mengabaikan segala
bentuk kegalauan yang melelahkan
Merasakan keramahan
mereka ketika kau sering apatis pada mereka
Mencairlah . . .
arogansi tai itu
Satukanlah . . .
karena kita memang bagian yang satu . . .
Menempuh jalan
setapak yang mulai datar dan inilah rumah Teh Teti . . . awalnya canggung juga,
sih sama keluarga Teh Teti yang lagi pada ngumpul. Tapi . . . dibilang enjoy
aja. Lagian keluarganya juga ramah-ramah, welcome sama orang-orang kayak kami
(orang-orang keren walaupun nggak jelas, hahahaha . . .)
“Nih, udah dimasakin
. . .” Teh Teti menunjukkan beberapa item masakan yang udah dia ceritakan
sebelumnya . . .
Kami hanya ternganga
. . . heran . . .
Ternyata . . .
TETEHNYA UDAH MASAKIN SEMUANYA . . .?????!!!!!
Haloooo, gue pikir
tekhnisnya kita bakal masak bareng . . . ternyata udah dimasakin sama Tetehnya.
Sesuatu banget, ya . . . subhanallah . . .
Kami pun membawa
item-item masakan dan peralatan makan. Nggak ketinggalan alas untuk duduk juga
buat acara makan-makan di saung dekat kebun-kebun penduduk . . . nyam-nyammmm .
. . aroma sambal terasi dan ikan asin yang khas udah menggelitik hidung. Pasti
maknyosssssss . . .
WILUJENG TUAAANNGGGG
. . . SADAYANA . . .
Nasi liweut dipadu
dengan ikan asin, makin meleleh dengan adanya sambal terasi, makin khas dengan
tahu, pas banget lah jadi tahu Sumedang . . . luar biasa pemirsa . . . duduk
bersila menyantap nasi liweut, kepedasan oleh sambal terasi, angin semilir
menemani dengan sangat setia. Bercerita tentang ini dan itu . . . sungguh
kenikmatan . . . yang belum tentu orang lain bisa rasakan. Gue mulai kepedasan,
berkeringat, tapi masih mau lagi dan lagi. apalagi ikan asinnya . . . renyah
dan khas ikan asin (yang jelas rasanya asin, nggak mungkin manis lah) ada bonusnya
pula, berupa BUAH NANAS . . . sesuatu banget yaaaaa . . . wkwkwkwk.
Duduk bersila
Mereguk puitisnya
semilir pada siang yang mulai bernuansa
Senda gurau yang
pernah kurasakan bersama mereka yang jauh di belahan bumi sana
Beragam topik dan
tema mengiringi santapan yang sederhana
Senyum ini
beriringan dalam setiap cipta kehangatan
Tawa menyapa setiap
sesak permasalahan
Melembutkan tatapan
Antara kita memang
tidak pernah ada jurang
Tapi struktur yang
terlalu baku
seperti sebuah garis
silang yang membuat perasaan kita menjadi malang
Mungkin banyak yang
telah menghilang
Ketika sebagian dari
hidup kita harus berkorban untuk sesuatu
Tapi masih banyak
yang masih mau peduli dengan kepedulian
Suap demi suap
hayati dengan sepenuhnya . . .
Cerita demi cerita menggantung
pada siang hari tapi mulai mendung
Kali ini kita bisa
tertawa menerima kekurangan
Kali nanti belum
tentu kita bisa bersua girang tanpa beban
Siluet tentang
mereka kembali singgah . . .
Kenapa muncul pada
saat seperti ini
Ketika kita duduk
bersama dalam satu atap yang sama
Bergurau tentang
masa depan dan masa lalu yang wibawa
Dan tentang
rencana-rencana
Aku merindukan itu .
. .
Aku mempelajari itu
dan mulai menghubungkannya dengan perasaanku
Sepertinya aku harus
tersenyum saja
Karena tersenyum pun
sudah membuatku merasa kalian ada
Walaupun di tempat
ini kalian berganti menjadi mereka
Jika pahit dan
manisnya hidup memang untuk dipahami
Aku akan memahaminya
sebagai sebuah prosa
Indah dan terus
indah
Meski teriris
Tapi tetap manis
Angin . . . angin .
. . angin . . . angin . . . angin . . . angin . . . angin
Kisah ini mengabadi
pada dahagaku akan perjalanan
Perjalanan yang
membuatku merindu pada semua yang dulu pernah ada
Pada semua yang dulu
pernah kupercaya
Yang kini mulai melenyap
seiring munculnya . . .
Munculnya keberanian
yang sama seperti yang pernah terasa waktu silam
Begitu lampau jika
harus kembali kuingat
Tapi aku tidak akan
bisa selamanya menjadi masa lalu
Aku berkewajiban
untuk melupakan
Bukan berarti harus
menganggapnya tidak pernah ada
Misalkan aku sudah
tidak punya rasa dan rindu
Jika aku matikan
rasa untuk menjadi orang pemberani
Percayalah . . .
Bisa saja aku
kembali dalam sebuah cerita indah yang pernah kususun
Kembali menyentuh
rasa dan rindu walau hanya beberapa saat
Dan itu . . .
Untukmu . . . [
imissu ]
Gan, baca puisinya
sambil dengerin lagu HOW CAN I FORGET YOU aja, by: Vanilla Unity. Hehehehe.
Biar feelnya dapet, getooooo . . .
Bener-bener hari
yang indah. Gue jadi kangen suasana rumah, makan bareng ortu dan saudara . . .
kehangatan yang tercipta memberikan semangat untuk hidup kembali.
Seperti itulah . . .
hidup di perantauan membuat kita sering kangen suasana rumah. Kalau gue, yah .
. . awal-awalnya emang gitu. Sekarang . . . kerinduan itu masih ada. Tapi kita
harus pintar-pintar mensiasatinya. Di tempat kita berpijak sekarang, akan
membuat kita bosan jika kita nggak bisa membahagiakan diri kita sendiri. Lihat
lah sekeliling . . . terlalu indah untuk dilewatkan dengan keluhan, keluhan dan
keluhan yang nggak ada artinya.
Carilah sesuatu yang
bisa bikin kita merasakan kebahagiaan. Dan kebahagiaan itu ada memang untuk
dibagi, bukan untuk disimpan pemirsa . . . PERCAYALAH!!!!!!. HEHEHEHE
Special thanks to
Teh Teti, moga masih ada waktu untuk bisa berkunjung ke rumah lagi. pokoknya
batagor Teteh adalah batagor paling nomor 1 se-Jawa Barat. Huhuyyy . . .
tugu nya mengingatkan saat saat indah bisa mengabdi disitu.
BalasHapus