28
Oktober 2011
Welcome
to the Switzerland van Java
Sumpah Pemuda, euy. mumpung masih muda, kudu diperingati. so, Sumpah Pemuda kali ini kita peringati di Puncak Cikuray, Garut. Pukul 9 malam waktu
Indonesia bagian Jatinangor, gue sama rombongan orang-orang keren start dari
kawasan kampus IPDN menuju terminal kebanggaan orang-orang di Bandung, yah . .
. itulah terminal Cileunyi yang akan menjadi saksi keberangkatan kami
meninggalkan kota tahu menuju Switzerland van Java. Yeeaahhhh . . . rombongan
kali ini ada 9 orang keren.
Aslansyah (Sulbar),
Satria (Jatim), Dharmawan (Jatim), Ari Fadli (Sulsel), Bagus (Jatim), Guh Ilham
(Sumbar), Ayu (Junior asal Kalteng), Rumanum (Junior asal Sumsel) dan gue . . .
asal Prancis.
Okai, dengan
ngeborong satu angkot, berjubel udah pasti, intinya tuh sopir angkot malam itu
menjadi sopir angkot yang paling beruntung karena telah berkesempatan menampung
kami, para kumpulan orang-orang keren. Nah, sesampainya di Cileunyi . . .
segera kami cari angkutan menuju Switzerland . . . Alhamdulillah ya . . . ada
angkutan yang mau nampung kami ke Garut dengan ongkos 15rebo perak. Okailah . .
. mari kita mainkan.
9 orang menuju
Garut yang dimulai dari puku 9 malam. Keren, kan???
Perjalanan menuju
Garut cukup sepi. Mungkin karena toko-toko dan warung udah pada mau tutup.
Tapi jalan raya
masih menyisakan kehidupan kota yang khas mengiba.
Tumpukan sampah,
sisa pencarian manusia yang harus ditutup malam ini juga.
Orang-orang kembali
menghimpun tenaga
Untuk esok yang
berisi semua yang tidak pasti bagi mereka
Pijar semua kuning
temaram lampu kota
Erangan mereka yang
lapar
Gerutu mereka pada
bosan dan ketidakadilan
Itulah kota.
Tapi mobil, sepeda,
sepeda motor, becak . . . terus melaju
Dingin. Gue mulai
ngantuk. Tapi suasana Switzerlandnya Jawa pas malam gak boleh gue lewatin.
Ini kali kedua gue ke Garut. Yang pertama ke
Garut isinya makan-makan sama Mbak Us dan Mbak Dilla. Garut yang pertama cukup
mengenyangkan dan berada pada posisi aman. Karena waktu itu gue sama dua orang
Mbak itu dijamu habis-habisan sama Teteh Alif yang punya toko kue Alif di
Jatinangor. Jadi pas mau ke Garut, kita bertiga dikasih tumpangan Avanza sama
suaminya Teteh itu. Sebelum meluncur ke Garut, gue sama yang lain dibeliin kue
dan tahu Sumedang dulu. Katanya buat cemilan selama perjalanan Jatinangor ke
Garut. Busseeeeetttttttt . . .
Sumpah enak banget
pengalaman pertama ke Garut. Budget yang keluar zero rupiah, euy. Ditraktir
pula. Sesuatu banget ya . . . belum lagi pas nyampe rumah Teteh . . . semua
makanan dan kue dikerahkan khusus buat kita. Apalagi coba . . . pake acara
bakar sate domba garut juga buat makan siang. Wiiiiiihhhh . . . kenyang full
saudara-saudara . . .
Perjalanan ke Garut
yang ke dua kali ini sangat berbeda. Gak ada itu tumpangan gratis berupa avanza
yang di dalamnya ada cemilan tahu Sumedang yang paling enak se-Sumedang dan
kue-kue. Hehehehe . . . yang kedua temanya adventure, bukan bertema masak kayak
pertama kali ke Garut.
Dari Jatinangor ke
Garut hanya memakan waktu satu jam setengah. Yap, satu jam setengah pusing.
Karena jalannya ular. Untung aja gue hanya pusing, gak pake acara mabok. Malam
cukup larut. Memasuki kota Garut yang sebentar lagi akan tidur disambut dengan
dingin dan cahaya lampu yang akan segera dimatikan. Malam itu kami berhenti di
Cilawu. Dari tempat inilah, rombongan kami akan melanjutkan perjalanan menuju .
. . PEMANCAR TELEVISI yang berada di antara perkebunan teh Dayeuh Manggung.
Malam itu juga
rombongan 9 orang KEREN ini akan menuju target, yaitu pemancar televisi yang
letaknya di dekat kebun teh. Waaahhhh . . . gue pernah ngebayangin
berjalan-jalan di kebun teh. Hijaunya begitu luas membentang. Dimana-mana hijau
. . . hijau yang sejuk. Tapi karena ini lagi jalan malam, otomatis yang ada
hanyalah siluet bukit dan hitam. Tapi tetep . . . nggak mengurangi kekhusukan
gue mengarungi sela-sela kebun teh yang amat gue impikan dulunya. Sesekali
kabut menerpa tapi rombongan tetap jalan. Padahal waktu itu udah menunjukkan
pukul 11 malam.
Menurut info yang
kita dapat dari Bapak-bapak yang jaga di sebuah pos dekat kebun teh, waktu
normal yang dibutuhkan untuk nyampe ke pemancar adalah . . . 4 jam. Woooooww .
. . hajar, gan. Rombongan disergap dingin tapi tetap berjuang menuju target.
Suasana sepi, mulai dingin, kadang turun kabut, kadang ada rintik. Gue berdoa .
. . God, jangan turunkan hujan dulu. Tunggu kami sampai di pemancar baru Engkau
turunkan hujan . . . dalam diam gue berharap sangat.
Kami ber9 terus
berjalan dan terus berjalan di sela-sela kebun teh yang menghitam dan gelap.
Sesekali kami berhenti untuk menghimpun tenaga. Ada yang membuka bekal berupa
kacang mete, meneguk air ada pula yang udah nggak tahan untuk segera menghirup
tembakau. Sekian jam kami berjalan, disaksikan panorama kerlap-kerlip kota
Garut dari ketinggian . . . nampaknya pemancar yang sedari tadi kami jadikan
patokan, entah kenapa malah menjadi semakin jauh.
Lelah udah pasti,
badan gue basah oleh keringat. Subhanallah ya . . . dari tadi jalan terus . . .
kayaknya udah 4 jam, deh. Atau udah lebih dari 4 jam mungkin. Naik turun bukit
tapi pemancar makin jauh adanya. Halllooooo . . . ada 9 orang keren, lagi
muter-muter kebun teh yang berbukit-bukit, malam-malam, bercucuran keringat,
bawa ransel segede kulkas, sempoyongan, mata merem melek gak jelas, sesuatu
banget ya. Padahal temen-temen kita yang lain nih, kayaknya udah pada nongkrong
di Jatos, muter-muter Bandung sampai kere, atau pada di tempat tidur
masing-masing sambil ngemil kacang rebus. Haaddeeeehhhhh . . . 9 orang keren.
“Kayaknya jalan ini
nggak bisa dilewati ojek.” Gumam salah seorang temen gue. Karena emang menurut
info, jalan menuju pemancar itu bisa dilewati ojek. Tapi dari tadi track yang
kami lewati jalan tikus semua. Pakai acara potong-potong jalan pula rombongan
gue . . . Waaaaddeeeehhh . . . curiga, nih gue. Pertanda nyasar, nih. Tapi
rombongan tetap jalan.
Jam udah
menunjukkan pukul 1 pagi. Kami kembali berhenti di sebuah tepian yang
dibawahnya adalah jurang yang nggak terlalu tinggi. Tapi kalau jatuh lumayan
juga, tuh . . . bisa manggil 3 orang tukang urut sekaligus. Wkwkwkwkwhahaha . .
. di tepian itu kita menemukan jalan buntu. Kali ini pemancar emang udah dekat.
Tapi kami terhalang jurang yang lumayan menjatuhkan mental kita. Belum lagi
lintasan normal yang dari tadi kami harapkan ternyata belum juga ada. BUNTU.
GELAP. GAK JELAS DAN NGANTUK PISAN.
Dalam kebingungan
itulah, kami menemukan sebuah tenda. Nah, coba dah kita tanya ke si pemilik
tenda perihal jalan menuju pemancar. Eehhhhh . . . pas kita bilang punteun . .
. cukup lama si penghuni tenda ngebuka tendanya . . . pas keluar . . .
“Wah, masih gelap
ya???” katanya sambil ngucek baju (ngucek mata, deh). Heeuu . . . ya iya lah,
Kang masih gelap. Yang bilang terang siapa??
Kita tanyakan saja
kepada Akang yang ternyata dari Tangerang itu. Dan Beliau menjawab . . .
“Kami juga nyasar,
nggak ketemu jalan buat ke pemancar . . .”
Hhhhmmmm . . .
stamina udah drop. Ngantuk. Udah malam. Teler tingkat dewa. Kami pun memutuskan
untuk berhenti mencari jalan ke pemancar. Berhubung udah pukul 2 malam waktu
Garut, kita pun nggak sempat menuju pemancar dan ngecamp di bawah bukit kebun
teh. Yah, ini pilihan yang lebih bijak daripada harus memaksakan nyampe di
pemancar. Bisa-bisa subuh baru nyampe pemancar dalam keadaan nggak jelas format
dan adat. TEPAR SEMUA.
Malam yang udah
pagi. Kami mendirikan tenda dan masak seadanya. Cukup teh manis dan beberapa
potong roti. Setelah itu, kami tidur. Mengistirahatkan kaki yang sekian jauh
mengitari bukit-bukit penuh teh di sana-sini. Melelapkan pikiran yang buntu
belum menemukan jalan. Mungkin dengan tidur akan membuat stamina lebih segar,
biar besok nggak sempoyongan lagi
Hantarkan aku pada
sebuah mimpi. Ketika aku dan kamu berlarian lincah di sela-sela kebun teh.
Menantang panas dan tiada peduli semua urusan. Menaiki dan menuruni perbukitan.
Sejenak beban kita hilangkan. Lihat . . . ibu-ibu yang lelah itu kembali
bekerja setelah melihat kita begitu lincah berlarian-berkejaran. Lihatlah . . .
ibu-ibu paruh baya itu tertawa melihat kita terjatuh berguling-guling seperti
anak yang kurang kerjaan. Dan ketika kita main petak umpet di sekitar
rumpun-rumpun teh yang menghijau, kita iseng memetik pucuk-pucuk harapan
ibu-ibu itu. Tapi ibu-ibu tidak marah. Malah mencubit lengan kita dengan ramah.
Lalu kita kembali berlari menaiki bukit perkebunan teh. Mulai lelah, kita pun
duduk bersila di bawah pohon besar. teduh.
.
29
Oktober 2011
9
orang keren . . . nanjak tulen
Naahhh . . . ini
baru terang saudara-saudara . . . nggak kayak tadi malam. Udara masih dingin.
Asri perkebunan teh mulai terasa di pagi itu. Jalan nampak jelas . . .
“Oooohhh . . . itu
jalannyaaaa????” dengan agak bloon gue baru ngeh pas lagi ngobrol sama seorang
Bapak pekerja kebun yang lewat di dekat tenda kami. Ternyata dari tempat kita
ngecamp, jalan menuju pemancar sangat dekat, Bung. Tinggal menuruni bukit
menuju 3 pohon yang berdiri tegak di seberang tenda kami, setelah itu . . .
kita tinggal mengikuti track beraspal yang agak rusak yang akan membawa kita
menuju pemancar. Begitulah . . .
Pagi itu targetnya
adalah semua anggota 9 orang keren harus terpenuhi logistiknya. Karena
perjalanan yang akan ditempuh hari ini akan lebih panjang, bro. Rumanum selaku junior
(nindya Praja) dengan segala respek yang dia punya, segera merebus air dan
membuat kopi jahe juga merebus mie. Sementara Mas Satria seperti biasa . . .
emang cocok kalau disebut sebagai koordinator nasi. Karena di tiap pendakian
Mas satu ini sangat hobi masak nasi. Coba aja kalau dia bawa ikan asin lagi
kayak ke Salak, bisa disebut juga sebagai koordinator ikan asin, heheheh . . .
(piiiss Mas . . .)
Sangat terasa
sejuknya. Terbangun dari tidur yang sangat pulas setelah menempuh perjalanan
mengitari perkebunan teh. Disuguhi hamparan kebun teh hijau. Kabut kerap
membelai bumi, mesra dan penuh keagungan. Kutatap Cikuray bertahta arakan
mega-mega sambil menyeruput kopi jahe untuk dibagi. Seperti pagi itu yang
sangat imaji. Menunggu masakan siap santap, dan kebetulan kali ini gue nggak
masak, hehehe . . . emang tiap kali ada kegiatan ini gue males masak. Entah
kenapa gue lebih tertarik untuk menikmati sekitar. Sedangkan urusan masak,
rekan-rekan gue yang cowok sepertinya lebih antusias melakukannya. Hehehe . . .
(bilang aja malas lo).
Setelah makanan
udah siap, kami segera menyantapnya. Menu sederhana ala anak gunung. Kopi,
nasi, mie dan sarden. Energi untuk melewati tanjakan demi tanjakan yang akan
menemani perjalanan. Kita lihat, rombongan pendaki asal Tangerang udah
bersiap-siap untuk berangkat. Kami masih berbincang sambil makan dan tentu saja
. . . sambil menikmati megahnya Cikuray. Pikirku udah ada di puncaknya.
“Okai . . . sebelum
berangkat mari kita berdoa dulu.” Setelah menyantap makanan, packing dan buang
air . . . kami pun segera melakukan persiapan.
Tuhan, hari ini
kami kembali datang untuk menikmati noktah-noktah surgaMu. Sederhana saja,
merentangkan tangan dan meresapi suasana di atas salah satu puncak yang
menyimpan keindahanMu. Kami panjatkan jutaan harap, sesampainya di sana mohon
mata ini jangan dulu terlelap. Sempatkan lah kami bersitatap dengan paras
kebesaranMu.
Tuhan, kami
menghamba sebagai hambaMu. Mengharapkan kemurahan hatiMu. Merestui kami dalam
perjalanan ini.
Dengan diiringi doa
dan ditutup dengan teriakkan SUMPAH PEMUDA dari kami . . . dan
BERANGKATTTTT!!!!!!
Perjalanan dimulai.
Pertama kami harus
melewati pemancar televisi dulu lalu melewati sela-sela kebun teh dan berhenti
sebentar pada sumber air untuk mengambil air. Karena selama di Cikuray tidak
ada sumber air. Sumber air terakhir hanya ada di kaki gunung Cikuray, ya di
perkebunan teh Dayeuh Manggung ini.
Medan masih belum
terlalu sulit. Tapi tetap menanjak. Semakin naik, semakin indah pemirsa . . .
ketika jalan makin menanjak, panoramanya makin menakjubkan. Ya, itulah naik
gunung. Perkebunan teh nampak jelas terhampar. Hijau . . . sejuk dan segar.
Kadang ada kabut yang melintas pelan. Kesan mistis pun tercipta. Ayo
nanjaakkkkk . . .
Seperti gunung di
Jawa Barat pada umumnya, begitu juga dengan Cikuray. Tracknya kering gak ada
sumber air. Dan . . . NGGAK ADA BONUS.
Nanjak terus . . . paling ada bonus hanya 2-3 meter. Habis itu jalan kembali
nanjak dengan medan berakar dan berbatu. Cikuray masih bujang, hutan cukup
rapat dan kalau gue rasa, sih . . . sebelas-duabelas sama Salak. bedanya . . .
Cikuray nggak ada lumpur dan pacet. Karena makin ke atas makin nanjak medannya,
otomatis . . . energi tim 9 orang keren berubah menjadi 9 orang sempoyongan.
Hahaha . . . maklum lah, namanya juga naik gunung. Nggak ada itu naik gunung
enak. Kalau enak ya tidur aja di barak sambil ngemil dan nonton. Tapi kalau
nyampe puncaknya, bro . . . . . . subhanallah . . .
Tenaga makin
menipis, tim 9 orang keren mulai ngos-ngosan. Makanya kita break dulu sejenak
untuk menghimpun tenaga kembali sambil ngemil. Ada permen, coklat dan biskuit
serta nggak ketinggalan . . . perbincangan-perbincangan yang menemani kami
selama perjalanan. Langkah kita semakin melambat, selain karena beban di
punggung, tapi juga karena tanjakan yang seperti nggak ada habis-habisnya.
Kemiringan medan yang membuat mental kami juga semakin miring. Tapi biar
bagaimana pun, harus tetap berjuang . . . semangat sumpah pemuda, euy. Merdeka.
Cukup sering kami
berhenti dan agak lama juga. Apalagi pas ada salah satu rekan gue yang ngajak
berhenti buat “semedi”. Haaaaa . . . gue sempet ketiduran nungguin mereka yang
lagi semedi. Di samping itu gue bersyukur. Masih diberi kesempatan beristirahat
cukup lama untuk mengumpulkan tenaga lebih banyak. Emang gue nggak nyadar kali,
ya . . . udah capek . . . tenaga merosot drastis sampe gue hampir drop . . .
jadi duduk bentar aja sambil bersandar di carriel . . . eehhh, molor akhirnya.
Tambah lagi suasana hutan yang mendukung 100% untuk tidur. Alhamdulillah . . .
gue masih ingat bangun.
Yang lain juga
gitu. Langkah mulai melemah . . . tapi semua harus kejar-kejaran dengan waktu.
“Ayo semangat . . .
Asar kita udah nyampe puncak.” Seru gue sok-sok semangat, padahal gue ngantuk
berat waktu itu. Tapi gue lebih pengen cepet sampai . . . hayoooo, ayooo . . . biar nggak terlalu capek, mari kita narsis dulu, coy . . .
Perjalanan kembali
berlanjut . . . sesekali kami mendengar suara-suara binatang penghuni Cikuray
seolah sedang bahagia menyambut kedatangan kami. Mereka bersahut-sahutan
menambah semaraknya Cikuray. Dan kami pun juga ikut menyahut. Beberapa orang
rekan gue sangat antusias menyahut sapaan khas mereka dengan ikut menirukan
suara mereka dengan suara yang lebih keras. Yah, gue hargain usaha sebagian
rekan gue yang berkenan menyahut sapaan mereka, lumayan mirip lah dengan bunyi
yang asli . . . sehingga walaupun kami nggak saling bertemu . . . tapi rasa
persaudaraan bisa tercipta dengan sangat harmonis karena kepandaian rekan-rekan
gue dalam menirukan suara mereka. Yang penting . . . mereka di sana tetap
tenang dan nggak melakukan serangan. Itu saja.
Sapaan mereka
sangat menghibur kami yang udah hampir tepar ini. Itu menandakan bahwa
kedatangan kami disambut, dan mereka sangat ramah kepada kami . . . terbukti.
Tidak ada serangan selama kami melakukan pendakian, hehehehe . . . kecuali
serangan untuk “semedi”.
Udah hampir 4 jam
kami mendaki. Hingga kami istirahat sejenak dan bertemu dengan rombongan
pendaki lain yang baru turun dari puncak. Di kala dingin dan cuaca yang
berubah-rubah itu, kami berharap puncak semakin dekat.
“Ayo, paling
setengah jam-an nyampe . . .” kata salah seorang dari pendaki yang turun. Tentu
itu kembali membakar semangat kami. Semangat sumpah Pemuda . . . kami kembali
melakukan perjalanan mendaki. Dan . . . hujan rintik mendera . . . panik udah pasti.
Tapi semua tetap tenang dan mulai mengenakan jas hujan. Gue males ambil jas
hujan. Biar saja lah, kali aja puncak udah deket atau hujannya berhenti . . .
itu pikir gue sambil terus meniti jalan menuju puncak. Di kepala gue saat itu
adalah . . . PUNCAK!.
“Mas Khalik . . .”
begitulah teriakkan dari rekan-rekan serombongan gue. Mereka manggil-manggil
Mas Ali yang udah duluan muncak bersama Mas Bagus, Mas Bustanul, Mas siapa lagi
gue lupa (hehehe . . . ketahuan gak respek) juga anak Jabar . . . Kang Irwandi.
Mereka lah tim yang duluan muncak. Tim dari IPDN juga, gan.
“PUNCAAKKKK . . .”
teriakkan menggema dari atas. Gue dengar itu sangat jelas . . . langkah pun
makin dipacu . . . puncak dekat. Gue mempercepat langkah . . . next . . .
Welcome . . .
Rintiknya mulai
deras, kabut menyambut. Candaan mereka bersahaja melucuti tubuh yang lelah.
Hilang sudah semua penantian, kali ini langit dan bumi bermurah hati dengan
caraNya.
Puncak masih 10
meter lagi katanya. Gue singgah sebentar menurunkan carriel di shelter tempat
rombongan pendaki dari IPDN lagi ngecamp. Sambil menstabilkan energi yang cukup
deras terkuras hujan yang makin deras. Istirahat sejenak menunggu hujan sedikit
mereda. Setelah cukup mereda dan ternyata nggak terlalu lama menunggu, gue
langsung cabut ke puncak 2818 mdpl. Puncak berkabut menambah nuansa khusuk
sebuah penghayatan (halaaahhhh . . . mulai 4L4IY). Senja . . .
Iring-iringan kabut
menghalau senja untuk segera tiba. Mendung tiada cahaya. Hujan tiada reda. Aku
memilih menghabiskan waktu bersamamu. Merayu heningmu sebagai obat rinduku.
Pisahkan aku sebentar saja dari fana. Sebentar saja . . . kita bersama,
menemuimu.
Selepas maghrib,
hujan masih mengisi keceriaan kami yang udah nyampe puncak. Alhamdulillah ya .
. . puncak udah bisa diraih dalam waktu 4 jam. Padahal waktu baca di blog
bilangnya puncak dapat diraih dalam waktu 7-12 jam. Alhamdulillah . . .
rombongan kami yang sempoyongan bisa mencapainya dalam 4 jam. Thanks ya Allah .
. . sekarang . . . tinggal menikmati puncak bersama hangatnya kebersamaan.
Pas hujan mulai
deras-derasnya . . . Alhamdulillah ya . . . TENDA GUE BOCOR pas lagi hujan di
sore menjelang malam. Gue dan adek junior Ayu, pasrah ketika memutuskan harus
pindah. Pindah ke tenda rekan putra. Kali itu tendanya Guh Ilham yang jadi
tempat gue sama Ayu mengungsi. Akhirnya . . . tenda yang tadinya dihuni oleh
Ari Fadli, Guh Ilham, Aslan, Rumanom harus ditambah oleh gue sama Ayu. Yah, mau
gimana lagi . . .??? tendanya bocor . . . lebih cocok dibilang tempat
penampungan air daripada tenda. Hahahaha . . .
Setelah
berintegrasi bersama 4 orang rekan putra di tenda sebelah, kami pun hanya
meringkuk memeluk lutut kedinginan. Di luar masih hujan deras dan angin mulai
menerpa-nerpa tenda kami. Kami duduk berdempetan meresapi dingin. Biar nggak
boring, kami pun bercerita sana-sini . . . dari soal puncak tertinggi Indonesia
yang ada di Papua sampai berapa gaji seorang porter . . . dari cerita soal
kampus sampe Soe Hok Gie, dan tentu saja ditemani oleh cemilan berupa coklat
Cha-cha dan kacang Tik-tak.
Obrolan terus
berlanjut dalam suasana hujan. Rumanum yang bawa hape lengkap dengan batere
hape yang masih cukup full buat mutar musik, dan akhirnya malam itu kami isi
dengan memutar lagu yang ada di playlistnya adek Junior gue yang dari Sumsel
itu. Ngobrol, ngemil, sambil dengerin lagu Ipank, Eros dll emang solusi mantab
untuk memanipulasi otak agar nggak terfokus pada hujan dan dingin. Biar lebih
okai, kami pun nyanyi bareng . . . agak lebay pemirsa . . . tapi, itulah yang
bisa bikin kita nampak ceria walaupun kondisi udah bikin bad mood. Kita harus
tetap ceria dalam setiap suasana, bro . . . itu prinsipnya . . . jangan sampai
mental kita goyang dalam keadaan seperti ini. Yang buruk harus bisa dibikin
indah . . .
Sekitar pukul 8an
malam . . . badai menyerang . . . tenda kami bergoyang. Cukup terdengar jelas
keadaan di luar, ketika para rekan kami yang berjuang memindahkan dan
menyelamatkan tenda dan harus bergulat dengan badai. Sumpah . . . ini malam
minggu terlebay. Malam minggu, enaknya nongkrong, di café, minimal di warung
Tegal lah bagi yang minim modal, atau di mall bagi yang kelebihan modal, konvoi
di jalan, bagi yang punya pacar . . . yah, apel ke rumah pacar. Pas hujan, ya
tidur enak, bermalas-malasan di tempat tidur sambil megang remot atau dengerin
radio sambil ngemil kue kering dan kacang rebus. Huaaaalllaahhhh . . . kerjaan
gue kalau lagi gak ada kerjaan tuh. Heheheh . . .
Berbanding terbalik
dengan malam minggu versi 14 orang keren yang waktu itu lagi stay di puncak
2818nya Cikuray. Berteman hujan sangat deras. Tenda yang hampir roboh karena
digoyang badai. Gue sama 5 orang rekan gue yang ada di tenda . . . hanya bisa
duduk memeluk lutut dan berdempetan. Hingga kami satu tenda diserang rasa
kantuk dan lelah, dan memutuskan untuk segera tidur. Sebelum tidur, kami
bersihkan tenda dari basah dulu setelah itu baru mulai melakukan pengaturan
tentang bagaimana posisi tidur yang baik agar semua anggota tenda bisa tidur
dengan nyaman. Lalu terciptalah kesepakatan agar kami ber6 tidur menghadap pintu
tenda. Hanya cara itu yang lebih nyaman dan yang pasti . . . lebih MUAT.
Hujan enggan reda.
Badai masih membabibuta. Dingin merangkul raga. Kami isi dengan lagu dan
cerita. Hingga kantuk dan lelah melanda. Kami putuskan untuk mengakhiri malam
dengan menutup mata. Selamat tinggal jingga senja yang tiada sempat kami raba.
Tapi kami yakin, esok akan lebih bermakna.
30
Oktober 2011
Inilah
alasan kenapa harus ada badai
Heran gue . . .
Rumanom masang alarm jam 3 pagi dengan menggunakan lagu Cahaya Bulan. Nggak salah???
Bukannya bangun, gue yang denger jadi pengen tidur lagi. lagu apa, kek selain
cahaya bulan. Linkin park, kek . . . Metalica, kek . . . pokoknya lagu-lagu
pencahar jiwa lah, bukannya lagu yang bikin tidur lagi, payah . . .
Tapi yang namanya
masih ngantuk, alarm pake lagu apa aja kayaknya nggak bakal ngaruh. Jadi jam 3
itu akhirnya gue tidur lagi, hehehe . . .
Hingga sekitar
pukul 5 lebih. Gue terbangun dan mendengar teriakkan-teriakkan dari puncak.
Pikir gue, kayaknya udah ada yang bangun dan mulai berburu sunrise. Tanpa pikir
panjang . . . gue langsung keluar dan menyelesaikan shalat subuh. Setelah itu,
langsung bergabung ke puncak . . .
Moment pendakian
kali ini, almost perfect pemirsa. Hampir semua moment didapat. Nanjaknya,
hujannya, badai pas di puncak dan yang terakhir . . . SUNRISE.
Badai, berhembuslah
sekencang-kencangnya . . . agar awan mendung itu hilang dan berganti cerah.
Hari ini adalah
hari terakhir kami di Cikuray. Setelah menikmati sunrise plus view kota Garut
juga bentang awan yang membuat kami seperti (bukan seperti lagi) tapi emang
udah ada di atas awan.
Sesuatu banget yah . . . mempesona. Badai tadi malam
udah ilang terbawa dan berganti takjub. Rupanya malam tadi ada pertarungan
hebat di puncak Cikuray, dan pagi tetap sebagai pemenang mutlak. okai, ikrar sumpah pemuda terucap lirih di sela kebahagiaan karena langit dan bumi mau bermurah hati hari itu. ajiiiibbb . . . sundul!!!
Ritual gue kalau di
puncak. Kayak biasa . . . mengasingkan diri. memberi celah untuk berpikir
tentang tempat tidur gue yang cukup jauh gue tinggalin. Berpikir tentang
kerinduan dan orang-orang yang selama ini harus gue tinggalkan. Di sini, di puncak
ini, untuk kesekian kali, kebersahajaanMu kembali bisa gue nikmati.
Berharap suatu hari
nanti, gue bisa menemuimu lagi.
Waktunya makan . .
. kami makan bersama di shelter. Makan mie, harus cukup untuk menuruni tubuh
Cikuray. Okai . . . persiapan . . .
Menuruni punggung
Cikuray nggak seperti menaikinya. Nggak terlalu banyak tenaga terkuras. Tapi
yang ada adalah rasa pegal yang menjadi sisa-sisa dari perjuangan mendaki
kemarin. Akibatnya gaya turun gue jadi aneh, kaki gue udah pegel . . . kaki gue
terasa gemetaran waktu turun. Hehehe . .
. tapi tetap gue paksa untuk melangkah. Karena biar bagaimana pun, pukul 9
malam ini gue harus udah nyampe kampus buat ikut apel penerimaan Ijin Bermalam.
Waktu naik 4 jam,
pas turun nyampe perkebunan teh hanya dalam waktu 2 jam. Turunnya kami dari
Cikuray disambut hangat oleh panorama kebun teh berselimut kabut. Dan pada saat
perjalanan pulang itu, salah seorang temen gue . . . Guh Ilham dari Sumbar
sempet bikin 8 orang keren lainnya panik. Pasalnya, yang bersangkutan tiba-tiba
aja hilang. Dua orang yang paling depan, Ayu dan Rumanom nggak ketemu Teguh . .
. katanya Teguh ambil jalur kanan, sementara jalur kanan itu adalah jurang. Ya
panik lah orang-orang.
Sepanjang
perjalanan pun kami hanya bisa meneriakki nama Teguh. Tapi nggak ada jawaban .
. . khawatir semakin merajai. Tapi kami tetap turun dan tetap optimis bahwa
Teguh udah nyampe perkebunan Teh.
Benar saja . . .
setelah kami mulai menapaki jalur perkebunan teh . . . Teguh udah duduk nyantai
di dekat rumpun-rumpun teh sambil cengar-cengir . . . haaddeeeehhhh . . .
Sambil menunggu
Rumanom ngambil air, kami bersantai sejenak meluruskan kaki yang agak gemetar
ketika menuruni Cikuray. Sembari menikmati perkebunan teh yang jarang banget
bisa gue nikmatin.
Selesai ngambil air . . . kami pun segera berangkat. Kembali
menelusuri jalanan yang ada di sekitar kebun teh untuk menuju pangkalan ojeg.
Saat itulah . . . Ayu mulai drop. Kakinya udah cukup lelah. Mas Satria pun
menyarankan agar dia dan Teguh naik ojeg aja. Pas banget di perjalanan ada ojeg
yang sedang beroperasi. Pas banget lagi waktu itu kita ketemu dengan ibu-ibu
pekerja di kebun teh yang sedang membersihkan kebun teh dari rumput-rumput
liar. Kami pun mencari informasi pulang dari ibu ini. Hingga kami pun diberi
tahu jalur menuju pangkalan ojeg terdekat. Yah, namanya aja pangkalan ojeg
terdekat . . . tapi kalau ditempuh dengan jalan kaki, dan dalam keadaan kaki
yang setengah gemetar gini . . . mungkin namanya yang paling cocok adalah . . .
PANGKALAN OJEG TERJAUH. Hahahaha . . .
Sambil menunggu dua
orang rekan gue ngasih arahan ke Ayu dan Teguh untuk naik ojeg, gue duduk
dengan setengah berbaring di pinggir kebun teh sambil menyanyikan lagu mocca
yang syairnya kurang lebih kayak gini: “hanya satu pintaku, tuk memandang
langit biru, di pangkuan Ayah dan Ibu . . . andai saja ini, hanya sebuah mimpi,
ku slalu berharap, ku tak akan terbangun . . .” eaaaa . . . feelnya dapat
banget . . .
“Neng, mau bareng
Ibu gak???” tawar Ibu yang menjadi sumber informasi kami tadi. Rupanya Beliau
juga mau pulang . . .
“Siap, Bu. Abdi
ngiring . . .” sahut gue sok-sok Sunda . . . heee. Gue bergegas mengikuti Ibu
itu.
Kali ini entah
kenapa kaki terasa ringan ketika gue mengikuti langkah lincah Ibu satu ini.
Cukup jauh ternyata, harus melewati perkebunan teh, sawah-sawah dan rumah-rumah
penduduk. Gue hanya diam waktu itu, sementara yang lain masih berbincang dengan
bahasa Jawa. Haaaa, gue nggak ngerti. Jadi lebih memilih diam daripada salah
tafsir. Sesekali gue berlari menyusuri jalanan yang ada di sekitar perkebunan
teh, yah . . . sekedar untuk merasakan sebuah mimpi yang pernah gue impikan . .
. BERLARI-LARI DI SELA-SELA KEBUN TEH.
Ya, sok-sok
berlarian di kebun teh kayak di film-film. Maklum, waktu masih kecil gue
termasuk salah satu orang yang terprovokasi oleh adegan-adegan film. Hahahaha .
. . mumpung masih di kebun teh, nggak ada salahnya lah . . . merasakan gimana
rasanya berlari-lari di kebun teh, walaupun kaki pegel. soalnya di Kalimantan nggak ada kebun teh. dulunya mah, bisanya cuma ngebayangin . . . (haaaa)
Setelah berjalan
cukup jauh, akhirnya . . . nemu juga pangkalan ojeg plus ojeg-ojeg yang siap
meluncur mengantarkan kami untuk pulang. Kita udah kayak gank motor Garut,
konvoi keliling kampung Genteng. Menikmati asrinya sawah-sawah dan deretan
rumah penduduk. Kebetulan hari minggu itu lagi ada pertunjukkan adu domba
Garut, walaupun udah selesai tapi arak-arakkan domba Garut masih ada yang
tersisa. Hari itu domba Garut didandani dan diberi aksesoris berupa kalung di
leher. Karena Desa Genteng selalu mengadakan adu domba Garut sebulan sekali.
Kata Bapak tukang ojeg yang gue tumpangin, si pemilik domba Garut yang dombanya
diadu harus joget pas lagi dombanya bertarung . . . huaaadeeehhh . . .
Ojeg udah mengantarkan
kami ke tempat yang udah menyambut kami dengan elef. Kami bersiap menuju
terminal Garut dan bertemu dengan Ayu juga Guh Ilham di sana.
Sayonara
Switzerland . ..
powered by: Allah, yang Maha Indah
asik laaah kak... ^^
BalasHapushehe
kebun tehnya mantab diks . . .
BalasHapus