Minggu, 15 September 2013

The Gold of Pematang Surian (Menapaki Rumpun Agraris Bangsa)



Taraaaaaa . . . . . ebussseeeyyyyttt, udah lama banget ya gue nggak ngadem di bawah pohon yang rindang, yang disekelilingnya ada wifi gratis (style gue banget, tuh) atau nongkrong di Bosa dari pagi sampe sore kala ada ijin pesiar keluar kampus, wifian seharian sampe laptop gue panas, atau di lantai dua perpustakaan kampus gue, duduk sampe pantat gue tepos, Cuma buat apa coba, apa coba??? Ya buat blogging, mmmeeennnnn . . . . .

Jadi ceritanya, karena kesibukkan gue sebagai seleb papan kropos, akhirnya kesempatan mikir buat update blog gue tuh suseeeehhh. Lagian juga spesies blog gue, kan khusus perjalanan paling kacau yang pernah dialami anak manusia dengan tingkat kemampuan yang seadanya. So, mana bisa gue update blog gue yang tersayang ini kalau gue nggak jalan-jalan. Tuh lah resiko jadi admin freelance sebuah blog amatiran yang berkisah tentang perjalanan. 

Okeh, gue lagi curi-curi kesempatan nih buat duduk tenang sambil ngangkang dan mulai mengingat-ingat kejadian-kejadian yang telah lewat. Dan ini gue lakuin malam jumat di kala gerimis mencumbui aspal-aspal jalan. Aseeekkkk.

Langsung aja, deh ya. Ini lagi-lagi soal solo trip. Pokoknya trip selain naik gunung, insya Allah gue sanggupin buat solo trip. Hahahah. Lagipula ini bukan hanya solo trip, tapi juga wajib trip. Trip wajib gue setiap minggu. Berhubung gue setiap minggu pulang kampung, dan rute gue pulang kampung itu hampir sama dengan trip keliling Kalsel. Ini juga bisa dikatakan sebagai trip yang nggak disengaja.

21 Juli 2013, hari minggu kayak biasa gue bakal meluncur pagi-pagi dari kota Barabai ke Banjarbaru, ngetrack rutin gue setiap minggu nih. Melakukan perjalanan maksimal 4 jam menuju kota penuh rejeki tempat gue kerja yaitu, Banjarbaru. Sebenarnya gue jarang berhenti di jalan buat ngurangin rasa lelah. Buat gue itu hanya akan memperlambat waktu sampenya gue ke tempat tujuan. Tapi, bos hari minggu kali itu atmospernya cerah banget. Silau abis. Tangan dan kaki gue aja sampe belang, coy.

Gue udah pasrah aja, tuh. Sepanas kaya apa aja ya tetep gue mesti cepat nyampe kos-kosan gue biar cepat istirahat juga. Nah, tadinya motor gue melaju dengan kecepatan 80km/jam, standar gue tuh, gan. Nggak ada niatan mau berhenti dan berhenti sejenak buat nyari tempat berteduh dari panas lalu nyantai. Eeehhhh, pas gue lewat di kawasan sawah-sawah yang namanya Pematang Surian yaitu sebuah daerah persawahan yang termasuk dalam Kabupaten Banjar, kecepatan gue langsung gue turunin jadi yang paling slow. Pokoknya yang tadi udah begaya kaya Pedrosa, tiba-tiba aja langsung berubah kayak keong racun yang sedang keracunan. Sseeeelllooooooowwwwww abeeesssss . . . . .

Gue terpana dengan Pematang Surian yang sedang menguning kayak hamparan emas. Mana langit lagi cerah-cerahnya di siang itu. Akhirnya warna biru cerah dan kuning yang semarak telah menjadi kontroversi visualisasi yang menimbulkan halusinasi bagi yang melihatnya. Termasuk waktu itu yang jadi korban adalah gue, yang sedang mengalami kelabilan dahaga dan sikilisasi gue yang sedang mengalami konspirasi ringan karena seharian ngetrack di jalur Barabai-Banjarbaru. 

Akhirnya gue parkir motor gue di pinggir jalan yang nggak jauh dari jalan setapak yang membelah Pematang Surian. Gue masih pake helm waktu itu. Gue lupa naruh di jok motor, saking semangatnya mau menjelajah di sawah-sawah di tanah Martapura ini. Lo bisa bayangin deh coy, tiba-tiba gue ngerusak pemandangan sawah dengan keberadaan helm gue yang masih tertancap pasti di kepala gue. jelas akan kembali menimbulkan kontroversi alam raya ketika dimana-mana ada caping tapi gue malah pake helm. Hahahahancoooorrr.

Sawah sedang sepi. Gue hanya menemui seorang Bapak yang bernanung di bawah terpal buatannya yang khusus dia buat untuk basecamp memanen padi. Bapak itu sedang istirahat sambil ngerokok dan minum air putih dari botolnya. Ngelihat gue yang dalam keadaan pake helm sambil cengar-cengir asem, ya pasti heran lah si Bapak. Tapi Alhamdulillah gue nggak dikira sebagai mafia yang berniat untuk merampok padi-padi Beliau.

Gue bilang permisi mau foto. Ujung-ujungnya gue dikira anak kuliahan jurusan pertanian yang lagi usaha nyelesain skripsi. Hahahahaha, Bapaknya belum tau kalau gue seleb. Wkwkwkwwk.
Matahari semakin tinggi. Pematang Surian makin panas, menyengat tapi cerahnya membiru menguning dan terang sekali. Gue udah nggak peduli lagi dengan panas itu. Soalnya pemandangannya oke banget, coy. Pematang Surian hari ini, siang ini adalah pemandangan yang jarang-jarang.com. biasanya kalau gue mau ke Banjarbaru lewat nih, tempat nggak pake acara ngetem kayak gini.

Setelah dari Bapak tadi, kita masih di Pematang Surian dan menemui satu orang Ibu yang lagi asik motong padi. Alhamdulillah ibunya ramah dan welcome sama gue. artinya, nggak ada adegan ngacung-ngacungin ani-ani ke muka gue lah. Hehehhe. Pokoknya si Ibu benar-benar baik banget. Di sela sibuk dan lelahnya motong padi, dan beliau juga lagi puasa sodara-sodara. Eehhh, kayaknya itu bertepatan dengan nisfu saban apa ya??? Gue lupa. Hehehe.
Tapi asli si Ibu ramah banget. Gue bilang sama si Ibu . . . . . .
“Bu aku pinjam topinya.”
“Iya pakai aja.”
“Bu aku pinjam ani-aninya.”
“Iya pakai aja.”
“Bu aku pegang padinya ya.”
“Iya nggak papa.”
“Bu aku foto ya.”
“Hehehehe.”
“Bu tolong fotoin aku yaa.”
Ibunya langsung bengong, heheheheh. Untung aja kamera gue adalah kamera yang diadaptasi dari hape X2, yang tinggal pencet tombol tengah, dan Alhamdulillah . . . . . Beliau bisa dengan mudah mengaplikasikan ilmu fotografi yang gue ajarin secara kilat ke Beliau. Alhamdulillah, kalau nggak . . . . . ya foto-foto kece badai yang sekarang lo lihatin ini mungkin nggak akan pernah ada.eh, sawahnya emang nggak kayak di Jawa berundak-undak. kan, Kalsel bukan daerah pegunungan jadi sawahnya datar-datar aja. tapi kalau udah panen dijamin nggak kalah sama di Jawa. ^_^






nah, ini nih yang diduga Pak Tani sebagai mahasiswa fakultas pertanian yang lagi ngurus skripsi. ckckckckckckckckck. hhmm, sebenarnya saya adalah mantan anggota pramuka yang nggak lulus ujian SKU, pak.



Sempat gue kenalan sama si Ibu. Tapi gue sekarang lupa nama beliau. Heheheh *tepok jidat. tapi foto beliau masih ada, nih. ^_^

 fotonya ibunya kurang kecil, ya???? heheeheh


Yang pasti tuh hari capek gue hilang. Dan gue siap menempuh perjalanan yang tersisa sedikit lagi. Puaaaaasssssss main di sawah yang sedang menguning itu.heheh. 

Bulir itu ranum hempaskan hidup kita. Semacam harap itu tumbuh lagi untuk esok hari. Harap agar dapur harus tetap mengepul, hidup kita adalah mengasah parang agar tetap tajam, bukan membuatnya tergeletak dan tumpul. Tajamkan, lah agar padi ini bisa dipotong.

Yyeeaaahh, perjalanan yang ini memang selintas sangat biasa. Nggak berada di mdpl tertentu atau km yang sangat jauh. Perjalanan yang sangat sederhana tapi memiliki spontanitas untuk mengenal lingkungan lebih dalam dan lebih jauh. Mengenal lingkungan terdekat kita untuk lebih menyadarkan bahwa . . . . . kekayaan itu ada di sekitar kita, asal kita mau menyadari.
Terima kasih untuk Bapak dan Ibu yang bekerja keras untuk memotong padi di siang hari. Semoga bisa bertemu lagi, ya. Dan special thanks untuk Allah yang maha Indah. Cerah yang Dikau turunkan hari minggu itu, membuatku kepayang di sela-sela rumpun padi yang kuning. Beri aku, dia dan mereka kekuatan untuk sekedar menjaganya. ^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar