Minggu, 23 Oktober 2011

THE POWER OF SAMBAL TERASI, hanya di sini . . . di INDONESIA (Sumedang Part III)


Ceritanya udah lama sebenarnya. Cuman gue lupa posting, (maklum . . . orang keren kayak gue sekarang lagi sibuk banget. weeeeekkkk . . . ) Udah lama banget, sih. Sejak masih bintang dua alias Nindya Praja. masa rame-ramenya bikin eksperimen nggak jelas bareng orang-orang yang juga nggak jelas. Hahahaha . . . tapi ya itulah namanya anak muda. Anak muda biasanya giat banget nyoba hal-hal baru dengan dalih buat nambah pengalaman. Sungguh . . . itu pemikiran anak muda yang sok dewasa banget. padahal anak singkong juga. Yang penting enjoy lah. Walaupun kesempatan serba terbatas, tapi . . . itu bukan penghalang. Dan itulah gunanya berani mengambil keputusan.
Ceritanya gue deket banget sama Teh Teti yang jualan di KSP (Kantin samping peprustakaan) IPDN. Teh Teti ini jualan bala-bala (sejenis gorengan), jualan batagor (batagor kuah maupun nggak pake kuah), langganan gue lah pokoknya. Cerita persisnya gue juga kurang jelas. Entah gimana . . . gue jadi dekat sama dia. Yang pasti gue sering beli bala-bala sama dia. Gue suka berat sama bala-bala, dan yang jualan bala-bala di kampus gue yang cuma Teteh yang asli Sumedang ini.
Nah, selain keren . . . gue kan orangnya juga ramah  . . . (wkwkwkwk . . .(*&(*^*^*&) saking ramahnya, tiap kali gue jajan bala-bala di dia, gue pasti ajak ngobrol dia . . . apa aja pasti gue tanyain. Penting nggak penting yang penting gue nanya aja sama dia, yang pentingnya lagi selalu munculkan tema kalau gue beli bala-bala atau batagor sama dia.
“Teh . . . jualan bala-bala dari kapan???”
“Teh . . . bumina dimana???”
“Teh . . . ari bade ka Sabuga kumaha nyak???”
“Teh . . . bahasa Sundanya lapar naon???”
Pokonya A sampe Z intinya nanyaaaaaa aja terus. Sampai itu Teteh jadi hapal sama gue. Hahahah. Lagian menurut gue itu Teteh seru kalau diajak ngobrol dan Teteh ini juga salah satu orang yang paling berkontribusi dalam upaya peningkatan jumlah vocabulary bahasa Sunda gue selama hidup di tanah Sangkuriang ini (tttssaaaaaahhhh . . .)
Yang penting ngobroooolllll . . . tentang apa aja diomongin (penting nggak penting pokoknya).
Jadi akhirnya gue deket sama dia. Jadi kayak temenan lah sama Teteh yang punya anak satu ini. Gue sama temen gue yang bernama Istiqomah, walaupun namanya Istiqomah tapi masih belum terlalu sesuai juga sama namanya, bro. nama emang Istiqomah, tapi orangnya separoh Sleman separoh Kaltim (diragukan juga, nih keistiqomahannya . . . wkwkwkwkw . . .) nah, partner gue yang satu ini juga dekat sama Teh Teti. So . . . kita bertiga ce-es an . . .
Selanjutnya, nih Bro. pas gue lagi jajan batagor sama Mbak Qomah di Teh Teti . . . Teh Teti ngajakin makan di rumah dia. Wwaaaahhhh . . . jarang-jarang kita diajak makan sama orang luar.
“Yok, entar makan sareng teteh. Teteh bikinken liweut, ikan asin plus sambal terasi . . .”
Jiiiaaaahhhhh . . . melelehlah sudah semuanya . . . dari keringat sampe air liur . . . MELELEH SAUDARA-SAUDARA . . .
Maklum lah, di Menza (tempat makannya Praja) jarang banget bisa makan sambal terasi. Paling sebulan hanya beberapa kali. Apalagi ikan asin . . . oh God . . . ikan asin udah jadi barang lux kalau buat gue selama di kampus. Nasi liweut . . . hhhhmmmm . . . terakhir gue makan nasi liweut pas gue masih Madya Praja waktu ada praktek lapangan di Jingkang, sebuah Desa yang letaknya di tengah hutan dan masuk kabupaten Sumedang, yang mau ke sana saja harus menempuh jarak ratusan kilo dengan kondisi jalan lebih cocok dipakai buat lomba naik gunung. Subhanallahhh . . .
“Mau . . . MAU BANGET KITA TEH . . .”
Muka gue sama Mbak Qomah udah muka-muka penuh nafsu gitu. Bener-bener pengen nyantap makanan itu lagi. setelah sekian lama meninggalkan salah satu peradaban kami yang indah itu. Rindu, euy.
“Mangga . . . hari minggu tapinya . . .” Kata Teteh.
“Okai, Teh. Minggu kami ke rumah Teteh.”
FIX GAN . . .
Sesuatu banget, ya . . . udah lama nggak makan gituan. Anugrah banget apabila kembali berkesempatan menyantap nasi liweut lagi. gue sama Mbak Qomah udah nggak sabar menunggu hari perjamuan makan itu datang. Seminggu berasa lama banget. padahal pikiran ini udah lumayan gonjang-ganjing, nggak tenang, dan nggak sabar lagi pengen segera hari minggu.
Udah terbayang gimana khasnya nasi liweut . . . hhhmmm, nasi liweut yang dibuat di Sunda, dibikin oleh orang Sunda, disajikan oleh orang Sunda, dan dimakan bersama-sama orang Sunda . . . sambal terasinya . . . yang mak nyooossss, yang bisa bikin keringat meleleh, air mata meleleh, bahkan ingus pun mungkin akan meleleh (sungguh . . . THE POWER OF SAMBAL TERASI), ikan asin . . . hhhhhaaaa, apalagi yang ini. Andalan banget pokoknya, coy.
Menu rakyat tapi kepuasannya konglomerat. Ajjiiiibbbbbbb . . .
Rencana udah tersusun dengan manajemen tinggi. Prediksi kami adalah kegagalannya 0%. Perjamuan makan bareng Teh Teti akan sukses 100%. Jauh-jauh hari kita udah dikasih tau dimana letaknya rumah Teh Teti. Rumah Teh Teti cukup gampang (katanya . . .) naik angkot 04 dan berhenti di Citali. Seperti itulah istruksi yang diberikan Teh Teti pas hari sabtu kita rapat sebentar di KSP untuk merencanakan tekhnis keberangkatan.
Dan ini lah yang sangat ditunggu-tunggu . . .
Hari minggu, seperti biasa . . . PESIAR. Bada Zuhur kita berdua langsung cabut pake angkot 04.
“Bapak, antarkan ke Citali.” Kata gue.
Angkot pun meluncur menuju Sumedang. Gue terus berkomunikasi sama Teh Teti lewat hp. Selama diperjalanan Teh Teti selalu ngasih kami arahan.
“Pokoknya setelah lewat Tanjung sari. Ada pangkalan ojeg. Nama daerahnya Citali. Bilang aja Citali ke Bapak sopirnya. Entar berhenti dekat pangkalan ojeg.” Begitulah . . .
Lintasan Jatinangor Sumedang lagi panas-panasnya dan macet tentunya. Tapi bayangan akan nasi liweut, sambal terasi plus ikan asin udah bikin kita maboookkk . . . nggak sabar pengen segera sampai ke rumah Teh Teti.
Tanjung Sari udah lewat. Gue sama Mbak Qomah waspada sambil lihat-lihat sekeliling, untuk memastikan ada nggaknya pangkalan ojeg.
“Neng . . . ini udah di Citali.” Seru Pak sopir.
“Berhenti di pangkalan ojeg, Pak.” Pinta gue bersemangat. Waktu itu gue sambil nelpon Teh Teti.
Angkot masih melaju tapi dengan kecepatan lambat, karena mau nguber pangkalan ojeg ceritanya. Pas gue nelpon Teh Teti . . . gue lihat Teh Teti lagi berdiri di pinggir jalan pake baju biru.
“Qomah . . . itu Teh Teti . . .” gue berseru penuh kemenangan. Dan angkot pun berhenti.
Alhamdulillah . . . NYAMPE DI CITALI.
“Nggak nyasar, kan???” Tanya Teh Teti.
Rumah Teh Teti emang gampang. Kami segera menuju rumah Teh Teti yang ternyata harus melewati sebuah tangga. Ooohhhh . . . ternyata rumahnya Teh Teti ini masuk kawasan perbukitan. Setelah melewati tangga dan tugu (nggak ngerti juga nih tugu apaan, kayaknya nih, tugu ada hubungannya sama pertanian. Karena nggak jauh dari kawasan rumah Teh Teti ini ada sekolah Menengah Kejuruan yang bergerak di bidang pertanian. Dan ini tugunya berhubungan sama pertanian itu) kita sempet narsis dulu, lah dikit . . .
inilah, orang-orang keren yang sedang menyelesaikan ekspedisi Citali (THE POWER OF SAMBAL TERASI):fotooooooooooo






Setelah melewati tangga . . . kami kemudian melewati jalan setapak yang cukup menanjak dan lumayan landai. Tapi karena lagi pake sepatu PDH yang ber-hak, kami cukup kelelahan juga waktu melewati tanah yang menanjak ini. Di sekeliling jalanan yang menanjak ini, nampak perkebunan penduduk. Ada pisang, kubis, sayur-sayuran . . . dll (dan lupa lagi). angin sepoi-sepoi mulai mengeringkan keringat kami selama kepanasan di angkot yang pengap . . . yang terasa adalah kesegaran . . . sejuk . . .
Nampak juga landscape Gunung Geulis dan atap rumah-rumah penduduk Citali dari bukit ini. Cerah . . .






Selama ini keluhan lah yang paling banyak mengambil peranan
Dan manusia lebih senang dipukul oleh rasa tidak puas
Arogansi meluap-luap menunggu diberi tanggap
Sempit . . . sempit . . . ruang berbatas oleh sesuatu yang normatif
Melupakan sebagian kecil yang juga menjadi bagianmu yang paling setia
Hanya saja . . .
Manusia dengan angkuh segala rupa
Seisi hati dan pikir hanya egois meraja
Sepertinya bebas . . . tapi meringkuk dingin sambil memukul-mukul dinding penuh grafiti yang mengintimidasi kemanusiaan
Selalu lupa . . . itulah manusia
Pada bagian-bagian yang seharunya ada tapi dianggap tai dan hilang saja
Tidak ada inisiatif untuk membuka dan merentangkan lengan selebar-lebarnya sayap langit
Mengabaikan segala bentuk kegalauan yang melelahkan
Merasakan keramahan mereka ketika kau sering apatis pada mereka
Mencairlah . . . arogansi tai itu
Satukanlah . . . karena kita memang bagian yang satu . . .
Menempuh jalan setapak yang mulai datar dan inilah rumah Teh Teti . . . awalnya canggung juga, sih sama keluarga Teh Teti yang lagi pada ngumpul. Tapi . . . dibilang enjoy aja. Lagian keluarganya juga ramah-ramah, welcome sama orang-orang kayak kami (orang-orang keren walaupun nggak jelas, hahahaha . . .)
“Nih, udah dimasakin . . .” Teh Teti menunjukkan beberapa item masakan yang udah dia ceritakan sebelumnya . . .
Kami hanya ternganga . . . heran . . .
Ternyata . . . TETEHNYA UDAH MASAKIN SEMUANYA . . .?????!!!!!
Haloooo, gue pikir tekhnisnya kita bakal masak bareng . . . ternyata udah dimasakin sama Tetehnya. Sesuatu banget, ya . . . subhanallah . . .
Kami pun membawa item-item masakan dan peralatan makan. Nggak ketinggalan alas untuk duduk juga buat acara makan-makan di saung dekat kebun-kebun penduduk . . . nyam-nyammmm . . . aroma sambal terasi dan ikan asin yang khas udah menggelitik hidung. Pasti maknyosssssss . . .
WILUJENG TUAAANNGGGG . . . SADAYANA . . .






Nasi liweut dipadu dengan ikan asin, makin meleleh dengan adanya sambal terasi, makin khas dengan tahu, pas banget lah jadi tahu Sumedang . . . luar biasa pemirsa . . . duduk bersila menyantap nasi liweut, kepedasan oleh sambal terasi, angin semilir menemani dengan sangat setia. Bercerita tentang ini dan itu . . . sungguh kenikmatan . . . yang belum tentu orang lain bisa rasakan. Gue mulai kepedasan, berkeringat, tapi masih mau lagi dan lagi. apalagi ikan asinnya . . . renyah dan khas ikan asin (yang jelas rasanya asin, nggak mungkin manis lah) ada bonusnya pula, berupa BUAH NANAS . . . sesuatu banget yaaaaa . . . wkwkwkwk.
Duduk bersila
Mereguk puitisnya semilir pada siang yang mulai bernuansa
Senda gurau yang pernah kurasakan bersama mereka yang jauh di belahan bumi sana
Beragam topik dan tema mengiringi santapan yang sederhana
Senyum ini beriringan dalam setiap cipta kehangatan
Tawa menyapa setiap sesak permasalahan
Melembutkan tatapan
Antara kita memang tidak pernah ada jurang
Tapi struktur yang terlalu baku
seperti sebuah garis silang yang membuat perasaan kita menjadi malang
Mungkin banyak yang telah menghilang
Ketika sebagian dari hidup kita harus berkorban untuk sesuatu
Tapi masih banyak yang masih mau peduli dengan kepedulian

Suap demi suap hayati dengan sepenuhnya . . .
Cerita demi cerita menggantung pada siang hari tapi mulai mendung
Kali ini kita bisa tertawa menerima kekurangan
Kali nanti belum tentu kita bisa bersua girang tanpa beban

Siluet tentang mereka kembali singgah . . .
Kenapa muncul pada saat seperti ini
Ketika kita duduk bersama dalam satu atap yang sama
Bergurau tentang masa depan dan masa lalu yang wibawa
Dan tentang rencana-rencana
Aku merindukan itu . . .
Aku mempelajari itu dan mulai menghubungkannya dengan perasaanku
Sepertinya aku harus tersenyum saja
Karena tersenyum pun sudah membuatku merasa kalian ada
Walaupun di tempat ini kalian berganti menjadi mereka

Jika pahit dan manisnya hidup memang untuk dipahami
Aku akan memahaminya sebagai sebuah prosa
Indah dan terus indah
Meski teriris
Tapi tetap manis
Angin . . . angin . . . angin . . . angin . . . angin . . . angin . . . angin

Kisah ini mengabadi pada dahagaku akan perjalanan
Perjalanan yang membuatku merindu pada semua yang dulu pernah ada
Pada semua yang dulu pernah kupercaya
Yang kini mulai melenyap seiring munculnya . . .
Munculnya keberanian yang sama seperti yang pernah terasa waktu silam
Begitu lampau jika harus kembali kuingat
Tapi aku tidak akan bisa selamanya menjadi masa lalu
Aku berkewajiban untuk melupakan
Bukan berarti harus menganggapnya tidak pernah ada
Misalkan aku sudah tidak punya rasa dan rindu
Jika aku matikan rasa untuk menjadi orang pemberani
Percayalah . . .
Bisa saja aku kembali dalam sebuah cerita indah yang pernah kususun
Kembali menyentuh rasa dan rindu walau hanya beberapa saat
Dan itu . . .
Untukmu . . . [ imissu ]

Gan, baca puisinya sambil dengerin lagu HOW CAN I FORGET YOU aja, by: Vanilla Unity. Hehehehe. Biar feelnya dapet, getooooo . . .
Bener-bener hari yang indah. Gue jadi kangen suasana rumah, makan bareng ortu dan saudara . . . kehangatan yang tercipta memberikan semangat untuk hidup kembali.
Seperti itulah . . . hidup di perantauan membuat kita sering kangen suasana rumah. Kalau gue, yah . . . awal-awalnya emang gitu. Sekarang . . . kerinduan itu masih ada. Tapi kita harus pintar-pintar mensiasatinya. Di tempat kita berpijak sekarang, akan membuat kita bosan jika kita nggak bisa membahagiakan diri kita sendiri. Lihat lah sekeliling . . . terlalu indah untuk dilewatkan dengan keluhan, keluhan dan keluhan yang nggak ada artinya.
Carilah sesuatu yang bisa bikin kita merasakan kebahagiaan. Dan kebahagiaan itu ada memang untuk dibagi, bukan untuk disimpan pemirsa . . . PERCAYALAH!!!!!!. HEHEHEHE
Special thanks to Teh Teti, moga masih ada waktu untuk bisa berkunjung ke rumah lagi. pokoknya batagor Teteh adalah batagor paling nomor 1 se-Jawa Barat. Huhuyyy . . .

1 komentar: