Senin, 27 Desember 2010

WIND CITY


Puas ngojek di Mojokerto, gua lanjut lagi ke Nganjuk. Hhhhmmmm, kata temen gua Nganjuk is Wind City. Entah benar atau gak . . . gua gak mau ambil pusing.
Dari Mojokerto, gua sama Mbak Qomah dianterin sama Mbak Ria dan Bapaknya ke Terminal Mojokerto. Di terminal itu terjadilah adegan yang sangat berbahaya. Pas turun dari Mobilnya Mbak Ria, kami nunggu bis, bisnya jurusan Kediri kalau gak salah. Nah, pas itu bis datang dengan gaya sok-sok miring macam pembalap simpang empat geto . . . keneknya langsung teriak
“KEDIRI . . . KEDIRI . . . HAYOOO . . . KEDIRI . . .”
Gua sama Mbak Qomah bersiap naik. Eh, ternyata Mbak Ria nyalamin gua sambil nyelipin uang 20 ribu perak ke tangan gua. ya jelas gua langsung tolak. Tapi gua dikejar gitu sama Mbak Ria. Terjadilah adegan kejar-kejaran gak jelas di terminal. Gua menolak dikasih 20 ribu, bukannya gua mau uang lebih (hahahaha . . .) tapi guanya aja yang gak enak. Udah numpang, dikasih makan, dipinjamin motor, sekarang . . . dikasih ongkos pulang. Baru pas gua sama Mbak Qomah patungan buat ngasih uang ke Mbak Ria sebagai wujud belas jasa kepadanya, malah dia tolak. BAHKAN, Mbak Qomah yang ngasih kerupuk yang terbuat dari kulit sapi ke dia, dia tolak juga. Busseettttt . . .
Yah, gua ngerasa jadi teman yang kurang ajar aja.
Kami langsung bersiap, dan kami pun naik. Eeehhhh, pas naik posisi kita berada tepat di pintu depan. Dan kami tuh gak tau kalau ternyata posisi kami tersebut telah menyulitkan 4 orang ibu-ibu yang mau keluar alias turun dari bis itu. Baru 4 orang ibu tersebut ngomong. Ngomongnya pake bahasa Jawa, mana gua ngerti, bow. Gua cuma bisa ber ha?? Hi?? Dan hu?? Sumpah gua gak ngerti. Yang jelas 4 orang ibu-ibu tersebut terkesan bernada marah dan dongkol sama gua dan Mbak Qomah.
Untungnya Mbak Qomah lumayan ngerti Bahasa Jowo, terus dia bilang sama gua bahwa gua di suruh duduk sama tuh 4 orang ibu-ibu, dikarenakan posisi gua berdiri telah menghalangi 4 orang ibu-ibu yang ingin turun ketika di pemberhentian yang gak terlalu jauh dari terminal Mojokerto. Ya, udah lah . . . gua langsung duduk pasrah.
Di saat seperti inilah, krupuk yang terbuat dari kulit sapi milik Mbak Qomah ketinggalan. Dia baru sadar kalau oleh-olehnya itu tertinggal di mobilnya Mbak Ria. Hahaha . . .
Hhhmmm, dengan mengeluarkan kocek sebesar Rp. 7000,- kami nyampe di terminal. Gua lupa itu terminal namanya apa. Selanjutnya kami harus naik bis jurusan Kedari untuk berhenti di Kecamatan Pace. Nah, di sanalah saudara-saudara . . . di tengah gemuruh hujan yang sangat deras . . . petir bersahutan . . . kilat menyambar . . . (lebaayyyyy . . .) gua sama Mbak Qomah nyampe di Kecamatan Pace dengan kocek Rp. 3000,- pas kami berdua turun di pinggir jalan besar, kami sempat diguyur hujan . . . Qomah yang membuka jalur Komunikasi dengan Mbak Us, akhirnya mengatakan.
“Mbak Us bakal jemput di sini.” Katanya gitu.
Kami pun berteduh di sebuah bengkel kecil. Dan oooohhh . . . mengharukan sekali. Mbak Us dengan sebuah payung menyambut kami dengan sukacita. Gua dan Mbak Qomah tersenyum sumringah macam kuda baru dikasih rumput setelah terkurung bertahun-tahun di ladang cabai (hahaha, apa gila???)
Kami langsung diboyong ke rumah Mbak Us yang ternyata sangat dekat dengan tempat pemberhentian bis tadi. Sesampainya di rumah Mbak Us . . . mmmmaaannnnttaaabbbbb . . . rumahnya JAWA BANGET. 100% JAVA, man.
Lampunya Jawa, jendelanya Jawa, bahkan masih menyimpan peti kuno bergaya Jawa juga radio jaman dulu yang udah rusak tapi tetap eksotis. Dapurnya juga Jawa, di belakang rumah ada kandang sapi dan sapinya tentunya, bro. gilaaaa . . . baru kali ini gua lihat dan masuk di rumah yang macam museum, hahaha . . . peace Mbak. Tapi serius, man. Nih rumah unik banget. Jawa tulen dah pokoknya. Like this.
Setelah bersih-bersih dan kegiatan mandiri, karena kami datangnya di kala senja, jadi ada kesempatan lumayan panjang untuk menikmati malam di Nganjuk. Kami langsung jajan, hahaha . . . maklum. Kami terlalu terobsesi menjadi surviver, agak amatir tapi itulah usaha kami, coy. Tiap di bis kami hampir gak pernah melakukan transaksi jual beli. Jadi nyampe di rumah Mbak Us, enaknya lagi adalah . . . rumah Mbak Us berseberangan langsung dengan warung-warung. Dari bakso urat, sate kambing dan ayam, kikil, lontong balap, semua ada dan berjejer . . .
Gua pengen makan bakso urat, karena gua jarang makan bakso. Jangankan yang jenis urat, yang jenis tenis dan basket pun gak pernah. Tapi Mbak Qomah kayaknya ngidam berat sama Mie. Ya udah, kami bertiga ditemani SEORANG BALITA. Hohoho . . . ponakannya Mbak Us yang friendly abeessss sama kita-kita . . . akhirnya kami nyampe juga di warung mie. Karena Mbak Qomah nih, emang the queen of noodle lah pokoknya. Makanya sekali nyampe di Nganjuk, yang dicari langsung mie.
Alhasil kami pun ikut makan mie. Gua yang tadinya mau makan bakso urat, ternyata juga makan mie. Walaupun bakso urat terus membayangi gua hingga sendok terakhir gua makan mie, hahahaha . . . itu semua Mbak Us yang nraktir. Hehehe, enaaakkk . . .
Tuh malam emang waktunya makan-makan. 100% makan lah. Hingga akhirnya kami pun tertidur pulas. Tapi sebelumnya gua sama Mbak Us hingga pukul 10 malam masih aja seru ngomongin Malang. Yah, cause next journey gua setelah Nganjuk adalah Malang. Mbak Us cerita banyak soal Malang. Makin ngiler lah gua pengen ke sana. Apalagi BROMO. Waaaah . . . my dream banget. Tapi sikon Bromo lagi batuk berdahak jadi gak bisa ke sana dulu. Mungkin next time lah.
Pagi di wind city . . . busseetttt . . .
Padahal benernya, tuh . . . KESIANGAN DI WIND CITY. Hahaha . . .
Tapi agenda mau ke pasar Nganjuk buat beli jajanan pasar terjadi juga. Bahkan Mbak Qomah telah mengubah rencana semula. Di Pasar Nganjuk dia beli langsat satu kilo, dan gilanya lagi dia juga beli kaset ludruk dan ketoprak yang dimainkan oleh Kirun.
Dia bilang kaset tersebut nggak dijual di Kaltim. Ya eya lah, bro. lo nyari ampe jenggotan juga gak bakal ketemu kalau di Kaltim, mah. Alat transportasi kami waktu itu adalah sepeda. Posisinya adalah, gua naek sepeda sendiri. Karena badan gua agak atletis geto, bow (haaaa . . . prrreeeetttt . . .) sedangkan Mbak Us dan Mbak Qomah boncengan karena badan mereka imut-imut kayak marmot yang ada di lutut (hahahahah . . .)
Setelah ke pasar dengan menggunakan sepeda, dan juga berkeliling arena persawahan dengan sepeda, kami pun pulang dan tepar. Maklum lah, kami terbiasa jalan kaki setiap harinya. Kami kurang terbiasa bersepeda (hohohoho . . . ngeles banget gua.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar